Sejarah Perang Salib

Sejarah Perang Salib

Reconquista dan jatuhnya Lisboa

Pada musim semi tahun 1147, Paus mengatur perluasan cakupan perang salib ke semenanjung Iberia. Ia memerintahkan Alfonso VII dari León untuk menyamakan kampanyenya melawan Moor dengan Perang Salib Kedua.[7] Pada Mei 1147, kontingen tentara salib pertama meninggalkan Dartmouth di Inggris menuju Tanah Suci. Cuaca buruk memaksa kapal mereka berhenti di kota Porto pada 16 Juni 1147. Di sana mereka dibujuk untuk bertemu dengan Afonso I dari Portugal.[17]

Tentara salib setuju untuk membantu Afonso menyerang Lisboa. Pengepungan Lisboa berlangsung dari 1 Juli hingga 25 Oktober 1147. Pada 25 Oktober, penguasa Moor menyerah, terutama karena kelaparan. Kebanyakan tentara salib menetap di kota yang baru direbut, tetapi beberapa dari mereka berlayar dan meneruskan perjalanan ke Tanah Suci.[17] Beberapa di antara mereka, yang telah berangkat lebih awal, membantu merebut Santarém pada tahun yang sama. Mereka juga membantu menguasai Sintra, Almada, Palmela dan Setúbal, dan dipersilakan untuk tinggal di tanah yang telah ditaklukan. Selanjutnya mereka mulai menghasilkan keturunan.

Di tempat lain di semenanjung Iberia pada waktu yang hampir sama, Alfonso VII dari León, Ramon Berenguer IV, dan lainnya, memimpin tentara salib Catalunya dan Prancis melawan kota pelabuhan Almería yang kaya. Dengan dukungan dari angkatan laut Genova-Pisa, kota ini berhasil diduduki pada Oktober 1147.[18] Ramon Berenger lalu menyerang wilayah Taifa Murabitun di Valencia dan Murcia. Pada Desember 1148, ia merebut Tortosa setelah pengepungan selama lima bulan dengan bantuan tentara salib Prancis dan Genova.[18] Satu tahun kemudian, Fraga, Lleida dan Mequinenza jatuh ke tangan pasukannya.[19]

Nationalgeographic.co.id—Selama Perang Salib ketujuh, Pasukan Salib membuat kemajuan yang sangat lambat menghadapi kekaisaran Ayyubiyah di Mesir. Sebagian besar pasukan berbaris di sepanjang Sungai Nil, berbaris di sepanjang tepi sungai.

Kapal-kapal yang dapat membawa perbekalan dan peralatan dalam jumlah besar, ikut berperang melawan angin yang berlawanan.

Pada titik ini, akhir November 1249 M, As-Salih Ayyub meninggal karena penyakitnya. Para perwira Bahris, yang dipimpin oleh komandan mereka Fakhr al-Din, kemudian turun tangan untuk melanjutkan perang melawan Pasukan Salib dengan lancar.

Setelah 32 hari, Pasukan Salib berkemah di seberang kamp Muslim dekat Mansourah, yang dilindungi oleh cabang sungai dan benteng.

Kedua kubu kini menggunakan mesin ketapel besar untuk saling membombardir dengan tembakan artileri. Serangan mendadak dan pemboman tanpa henti terjadi selama enam minggu.

Sejarah Perang Salib ketujuh akhirnya menemui kebuntuan. Raja Louis yang memimpin Pasukan Salib kemudian ditawari harapan hidup oleh beberapa pengkhiatan dari Pasukan Muslim.

Pengkhianat dari Pasukan Muslim memberitahukan, bahwa kamp musuh dapat didekati dari belakang dengan menyeberangi sungai lebih jauh ke hilir.

Pada tanggal 8 Februari 1250 M, Raja Louis mulai bergerak dan sejumlah besar ksatria berkumpul di tempat di sungai yang ditunjukkan oleh pengkhianat Pasukan Muslim.

Meski harus turun dan menyuruh kudanya berenang menyeberang, pasukan ksatria yang maju berhasil mencapai sisi lain.

Kemudian, pemimpin mereka, Robert dari Artois, membuat keputusan bodoh dengan segera menyerang kamp musuh sebelum para ksatria lainnya menyeberangi sungai di belakangnya.

Meskipun Fakhr al-Din terbunuh dalam serangan pertama, keputusan terburu-buru Robert untuk mengejar Pasukan Muslim yang melarikan diri ke kota Mansourah membuktikan kesalahannya yang kedua dan terakhir.

Begitu berada di dalam kota, para ksatria Robert dikepung dan, dipisahkan oleh jalan-jalan sempit, dibantai.

Pasukan Muslim, yang berkumpul kembali setelah serangan awal, kemudian melakukan serangan balik terhadap Raja Louis dan pasukan ksatrianya yang baru saja menyeberangi sungai.

Dalam pertempuran sepanjang sejarah Perang Salib ketujuh yang makin kacau dan berdarah yang terjadi setelahnya, Raja Louis hanya berhasil mempertahankan posisinya sampai bala bantuan tiba dari kamp utama Pasukan Salib di penghujung hari.

Ilustrasi abad ke-14 M tentang Raja Louis IX dari Prancis (memerintah 1226-1270 M) yang memimpin Perang Salib ketujuh.

Pasukan Kekaisaran Ayyubiyah mundur ke tempat yang aman di Mansourah namun sebagian besar tetap utuh. Selain itu, pada akhir Februari, Sultan baru dan putra as-Salih, al-Mu'azzam Turan Shah telah tiba di Mansourah bersama dengan perbekalan dan bala bantuan penting.

Pasukan Salib, di sisi lain, tidak mempunyai persediaan pasokan sekarang. Hal itu karena kamp mereka telah terputus dari Damietta oleh armada kapal Pasukan Muslim, dan kelaparan serta penyakit segera merajalela di kamp mereka.

Akhirnya, pada tanggal 5 April 1250 M, Raja Louis memerintahkan mundur. Pasukan barat, jumlahnya makin berkurang karena penyakit, kelaparan, dan serangan terus-menerus dari Pasukan Kekaisaran Ayyubiyah.

Dalam waktu dua hari, Pasukan Salib hampir musnah sebagai kekuatan yang efektif. Pasukan Salib yang tersisa, hanya setengah jalan kembali ke Damietta dan lansung menyerah.

Sementara itu, raja Louis dari Prancis, yang menderita disentri parah langsung ditangkap. Louis dibebaskan pada tanggal 6 Mei 1250 M, tetapi hanya setelah pembayaran uang tebusan yang besar untuk dirinya sendiri.

Uang tebusan untuk membebaskan Raja Louis adalah sebesar 400.000 livres tournois untuk sisa pasukannya yang ditangkap, dan penyerahan Damietta yang dikuasai Kristen.

Setidaknya, diperkirakan Raja Louis kehilangan 1,5 juta livre tournoi selama sejarah Perang Salib ketujuh. Jumlah tersebut sekitar 6 kali lipat pendapatannya sebagai Raja Prancis.

Terlepas dari kerugian material, bahaya fisik hingga penangkapannya, Raja Louis IX akan kembali beraksi. Ia akan kembali memimpin Pasukan Salib di akhir masa pemerintahannya yang panjang, ketika ia memimpin Perang Salib kedelapan pada tahun 1270 M.

Raja Louis tidak kembaliSetelah bebas, Rajau Louis tidak kembali ke kampung halamannya dengan rasa malu. Ia tetap memilih tetap tinggal di Timur Tengah selama empat tahun lagi.

Selama waktu itu, dia mengawasi refortifikasi markasnya di Acre, serta benteng di Sidon, Jaffe, dan Kaisarea. Louis juga menciptakan kekuatan baru yang inovatif yang terdiri dari 100 ksatria dan pelengkap panah otomatis.

Tidak seperti para ksatria sebelumnya, yang ditempatkan di kota-kota atau kastil-kastil strategis tertentu, pasukan ini digunakan di mana pun mereka paling dibutuhkan untuk melindungi kepentingan Kerajaan Latin di Timur Tengah.

Menariknya, meskipun Pasukan Salib gagal dalam sejarah Perang Salib ketujuh, mereka berkontribusi besar terhadap jatuhnya Kekaisaran Ayyubiyah di Mesir. Kekaisaran Ayyubiyah ditaklukkan oleh Mamluk pada Mei 1250 M.

Pergantian kekuasaan terjadi ketika kelompok perwira Mamluk membunuh Turan Shah. Terjadilah pertikaian faksi yang sengit selama sepuluh tahun antara para bangsawan Ayyubiyah dan para jenderal militer.

Hingga akhirnya, kaum Mamluk menetapkan diri mereka sebagai penguasa baru di bekas wilayah Kekaisaran Ayyubiyah. Meskipun Aleppo dan Damaskus tetap berada di bawah kendali para pangeran Kekaisaran Ayyubiyah.

78% Daratan di Bumi Jadi Gersang dan Tidak akan Pernah Basah Kembali

Nationalgeographic.co.id—Kegagalan pasukan salib dalam sejarah Perang Salib kedua telah menjadi pukulan telak bagi negara-negara Kristen Eropa. Dan sekali lagi, Perang Salib telah merusak hubungan timur-barat, Kekaisaran Bizantium dan negara-negara Kristen Eropa.

Tidak hanya itu, jenderal Shirkuh dari Dinasti Zenkiyah, di bawah kepemimpinan Nur ad-Din menaklukan Mesir pada tahun tahun 1168, aliansi Damaskus dan Aleppo semakin kuat. Keberhasilan peradaban Islam ini dianggap menjadi ancaman yang lebih besar terhadap negara-negara Kristen Eropa.

Setelah kematian Nur Ad-Din, salah satu panglima militernya bernama Salahuddin al-Ayyubi mengambil kesempatan untuk mengonsolidasikan kekuatannya sendiri. Salahuddin al-Ayyubi yang lebih dikenal dengan Saladin kemudian mendirikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir.

Saladin (memerintah 1169-1193 M) dengan cepat menyatukan Peradaban Islam untuk melawan invasi Kristen Eropa. Dan, pada 4 Juli 1187 dalam Pertempuran Hittin, Saladin yang memimpin Pasukan Muslim berhasil merebut kembali Yerusalem dari Pasukan Salib.

Yerusalem akhirnya kembali ke dalam Peradaban Islam yang dikonsolidasi oleh Saladin. Inilah yang kemudian memicu diserukannya kembali Sejarah Perang Salib Ketiga (1189-1192).

Dalam sejarah Perang Salib Ketiga, pasukan salib dipimpin oleh tiga raja Eropa. oleh karena itu, sejarah Perang Salib ketiga juga dikenal dengan nama lainnya yaitu 'Perang Salib Raja'.

Ketiga pemimpin tersebut adalah: Frederick I Barbarossa, Raja Jerman dan Kaisar Romawi Suci (memerintah 1152-1190 M), Philip II dari Prancis (memerintah 1180-1223 M) dan Richard I 'si Hati Singa' dari Inggris (memerintah 1189 -1199 M).

Terlepas dari silsilah ini, kampanye itu gagal, Kota Suci bahkan tidak pernah diserang. Sepanjang jalan, ada beberapa kemenangan, terutama direbutnya Acre dan pertempuran Arsuf.

Tapi, sejarah Perang Salib tidak seperti yang dikampanyekan. Pasukan Salib runtuh dengan sendirinya.

Pada saat mereka mencapai tujuan mereka, para pemimpin Barat mendapati diri mereka tidak memiliki cukup orang atau sumber daya untuk melawan pasukan Saladin yang masih utuh.

Para raja akhirnya memilih jalan negosiasi dan meminta kompromi kepada Saladin. Negara-negara Kristen Eropa hanya meminta akses peziarah dan dizinkan masuk ke Yerusalem diizinkan. Kemudian umat Kristen dapat berziarah dengan perlindungan di Timur Tengah.

Peradaban Islam tidak keberatan dengan negosiasi dari negara-negara Kristen Eropa tersebut. Namun upaya lain untuk merebut Kota Suci Yerusalem masih terus dilakukan, dan akan menjadi tujuan awal Perang Salib Keempat pada tahun 1202-1204 M.

Peta Timur Tengah yang menunjukkan negara-negara Timur Latin yang dikuasai Pasukan Salib pada saat Perang Salib Ketiga (1189-1192 M).

Perang Salib Kedua (1147-1149 M) secara efektif telah berakhir dengan kegagalan total merebut Damaskus di Suriah pada tahun 1148 M.

Berbagai negara dari Peradaban Islam di Timur Tengah kemudian menyadari, bahwa para ksatria barat yang pernah ditakuti dapat dikalahkan dan keberadaan genting dari wilayah yang dikuasai Pasukan Salib, Timur Latin, kemudian menjadi perhatian Peradaban Islam.

Yang dibutuhkan sekarang hanyalah penyatuan pasukan Muslim dan ini disediakan oleh salah satu penguasa abad pertengahan terbesar, yaitu Saladin, Sultan Mesir dari Dinasty Ayyubiyah dan Suriah (memerintah 1174-1193 M).

Saladin, pendiri Dinasti Ayyubiyah di Mesir, menguasai Damaskus pada 1174 M dan Aleppo pada 1183 M. Saladin kemudian mengejutkan dunia dengan mengalahkan pasukan Kerajaan Yerusalem dan sekutu Latinnya di Pertempuran Hattin pada tahun 1187 M.

Dengan demikian, Saladin mampu menguasai kota-kota seperti Acre, Tiberias, Caesarea, Nazareth, Jaffa dan bahkan, tempat paling suci itu sendiri, Yerusalem.

Tidak seperti Sejarah Perang Salib Pertama yang penuh dengan pembantaian saat orang Kristen Eropa menaklukkan Yerusalem, puluhan ribu orang Yahudi dan Muslim dibantai. Saladin malah sangat toleran, lunak dan menerima kompromi.

Setelah Saladin merebut kembali Yerusalem hampir seabad sebelumnya, Saladin hanya menerima uang tebusan dari orang-orang Kristen Latin yang mampu membeli kebebasan mereka dan memperkerjakan sisanya.

Sementara itu, orang Kristen Timur atau Kristen Ortodoks diizinkan untuk tetap tinggal di Yerusalem sebagai kelompok minoritas yang dilindungi.

Dengan demikian Timur Latin semuanya telah runtuh, hanya Tirus yang tersisa di tangan Kristen Eropa, di bawah komando Conrad dari Montferrat, tetapi itu akan terbukti menjadi pijakan yang berguna untuk perlawanan yang akan datang.

Paus Gregorius VIII hanya memerintah selama beberapa bulan pada tahun 1187 M tetapi, pada bulan Oktober tahun itu, dia membuat dampak yang bertahan lama dalam sejarah Perang Salib.

Ia mengharapkan perang salib lagi untuk memenangkan kembali Yerusalem dan peninggalan suci yang hilang seperti Salib Sejati, tapi semuanya tidak berlanjut.

Padahal, tidak kurang dari janji pengulangan prestasi luar biasa dari Perang Salib Pertama. Tidak kurang juga bangsawan yang terlibat.

Tiga raja paling berkuasa di Eropa ketika itu menerima seruan Paus untuk memulai Perang Salib Ketiga atau Perang Salib Raja, yaitu Kaisar Romawi Suci, Frederick I Barbarossa, raja Jerman, Philip II dari Prancis dan Richard I dari Inggris.

Tapi, secara keseluruhan, Sejarah Perang Salib ketiga tidak lebih baik dari Perang Salib Kedua dan bahkan gagal sebelum terjadi perang terbuka.

Gel Duri Landak Berpotensi Sembuhkan Luka: Termasuk Luka akibat Tertusuk Duri?

Nationalgeographic.co.id—Ada banyak pihak yang terlibat dalam sejarah Perang Salib. Dari semua pihak yang terlibat dalam sejarah Perang Salib, Kristen barat dan Negara Latin adalah organisasi utama yang menyebabkan perang hampir dua abad itu.

Pasukan Perang Salib adalah saksi utama perseteruan umat Kristen dan Muslim dalam sejarah Perang Salib. Kedua pihak berseteru untuk menguasai wilayah di Timur Tengah dan tempat lain.

Pasukan tersebut dapat melibatkan lebih dari 100.000 orang di kedua pihak yang datang dari seluruh Eropa untuk membentuk Pasukan Kristen. Hal serupa juga datang dari seluruh Asia barat dan Afrika Utara untuk membentuk Pasukan Muslim.

Pasukan Kristen mempunyai keunggulan dalam hal kesatria yang berdisiplin dan bersenjata lengkap, sedangkan pasukan Muslim sering menggunakan kavaleri ringan dan pemanah dengan efek yang besar.

Seiring waktu, kedua belah pihak akan belajar satu sama lain, mengadopsi senjata dan taktik untuk keuntungan mereka masing-masing.

Sumber daya yang besar diinvestasikan dalam Perang Salib di kedua sisi. Sementara Pasukan Kristen berhasil di Iberia dan Baltik, Pasukan Muslim berhasil di arena yang paling penting, Tanah Suci Yerusalem.

Mungkin taktik yang unggul dan kepedulian yang lebih besar terhadap logistiklah yang memastikan Pasukan Muslim menang. Pasukan dari berbagai negara Muslim pada akhirnya berhasil mengalahkan ancaman Kristen.

Pasukan Kristen barat selama sejarah Perang Salib merupakan campuran dari kesatria lapis baja berat, kavaleri ringan, pemanah dan pemanah silang.

Kemudian pengumban, dan infanteri biasa yang dipersenjatai dengan tombak, pedang, kapak, gada, dan senjata pilihan lainnya.

Kebanyakan kesatria bersumpah setia kepada satu pemimpin tertentu. Namun dalam sejarah Perang Salib, banyak pasukan dipimpin oleh banyak bangsawan atau bahkan raja dan kaisar negara Kristen barat.

Sehingga setiap pasukan dalam sejarah Perang Salib biasanya merupakan campuran kosmopolitan yang terdiri dari berbagai kebangsaan dan bahasa.

Meskipun pemimpin keseluruhan biasanya ditunjuk sebelum gerakan. Namun kekuasaan dan kekayaan para bangsawan yang terlibat menyebabkan perselisihan mengenai strategi sering terjadi.

Dengan pengecualian pada dua perang salib pertama (1095-1102 M & 1147-1149 M), Pasukan Salib hampir seluruhnya dibentuk berdasarkan basis feodal.

Itu adalah orang-orang yang wajib militer dari tanah para baron (tuan tanah), dengan sebagian besar Pasukan bayaran, biasanya infanteri diikutsertakan.

Sementara itu, kelompok pasukan bayaran terkenal di Eropa berasal dari Brittany dan Negara-Negara miskin, sementara pemanah Italia sangat dihormati.

Ketika raja-raja terlibat, mereka dapat meminta wajib militer siapa pun yang berbadan sehat untuk memenuhi kebutuhan kerajaan, tetapi pasukan ini kurang terlatih dan tidak diperlengkapi dengan baik.

Pengangkutan pasukan ke tempat mereka dibutuhkan, sebagian besar disediakan oleh kapal-kapal negara bagian Genoa, Pisa, dan Venesia di Italia. Kadang-kadang, kota-kota ini juga menyediakan pasukan dan kapal untuk dinas aktif dalam gerakan itu sendiri.

Tentu saja, pasukan di lapangan yang berjumlah puluhan ribu prajurit memerlukan jumlah besar personel non-tempur. Seperti misalnya pengurus bagasi, buruh, tukang kayu, juru masak, dan pendeta, sementara para kesatria membawa serta pengawal dan pelayan pribadi mereka.

Peta Timur Tengah menunjukkan Negara Latin yang dikuasai Pasukan Salib pada saat Perang Salib Ketiga (1189-1192 M).

Sejarah Perang Salib pertama melahirkan negara-negara yang dibentuk Pasukan Salib, negara itulah yang disebut negara latin. Empat negara latin di Timur Tengah adalah Kerajaan Antiokhia, Kabupaten Edessa, Kabupaten Tripoli, dan Kerajaan Yerusalem.

Negara-negara latin dibentuk setelah kemenangan Pasukan Salib dalam sejarah Perang Salib pertama. Negara latin dibentuk untuk mempertahankan pengaruh mereka di wilayah timur tengah.

Keberadaan negara-negara latin inilah yang nantinya akan selalu memicu Perang Salib di periode-periode berikutnya.

Negara-negara latin dipimpin oleh (secara teori) pemimpin Pasukan Salib. Namun negara-negara bagian membentuk pasukan mereka sendiri berdasarkan penyewa feodal, orang bebas, dan pasukan bayaran.

Para penguasa sering kali memberikan tanah milik kepada para bangsawan sebagai imbalan atas kuota tetap prajurit pada masa perang.

Negara-negara Pasukan Salib atau negara latin tidak dapat mengandalkan wajib militer penduduk lokal. Hal itu karena mereka sebagian besar beragama Islam dan tidak memiliki pelatihan.

Oleh karena itu, karena jumlah penduduk di wilayah barat yang kecil, negara-negara Pasukan Salib selalu kekurangan pasukan tempur.

Seperti misalnya, mereka hanya dapat mengerahkan maksimal 1.500 kesatria. Sehingga mereka menjadi sangat bergantung pada perintah militer di wilayah tersebut.

Penggunaan pasukan bayaran jelas bergantung pada dana yang tersedia, namun setidaknya negara-negara Pasukan Salib kadang-kadang menerima pembayaran dari raja-raja Eropa.

Para penguasa ini lebih memilih metode bantuan tersebut, daripada mengirimkan pasukan sebenarnya untuk tetap mematuhi kewajiban moral mereka sebagai penguasa Kristen untuk mempertahankan Tanah Suci Yerusalem.

Masalah lainnya adalah status yang relatif setara antara para baron (tuan tanah) dan raja Kerajaan Yerusalem.

Masalah itu menyebabkan banyak pertengkaran. Sehingga satu atau lebih Negara Latin sementara waktu memilih netralitas daripada mendukung tujuan pertahanan bersama.

Varuna, Dewa Langit dan Lautan yang 'Ambigu' dalam Tradisi Hindu Kuno

Ketika jenderal Mamluk Imaduddin Zangi meninggal, ia digantikan oleh putranya Nuruddin, yang berhasil menaklukan Damaskus. Setelah Nururddin meninggal pada 1174 M, seorang jenderal Kurdi yang kuat bernama Salahuddin berkuasa. Salahuddin merebut Mesir dari Fatimiyah, dan ia bahkan cukup kuat untuk memulai peperangan dengan kerajaan-kerajaan Kristen di Israel dan Lebanon. Pada 1187 M, Salahuddin menaklukan Yerusalem.

Sekali lagi bangsa Eropa pun marah. Paus kembali menyeru para raja Eropa untuk bersatu dan memerangi Salahuddin. Akhirnya Richard Hati Singa, raja Inggris; Philippe Auguste, raja Prancis; dan Friedrich Barbarossa, raja Jerman sekaligus Kaisar Romawi Suci, bersama-sama memimpin pasukan menuju Yerusalem. Sementara di Prancis dan Inggris ditetapkan pajak khusus untuk menghasilkan uang demi membiayai perang.

Akan tetapi, Perang Salib Ketiga, seperti yang kedua, menemui banyak permasalahan. Friedrich meninggal dalam perjalanan ke Yerusalem. Ia tenggelam ketika sedang mandi di sebuah sungai. Akibatnya sebagian besar tentaranya memilih untuk pulang.

Richard dan Philippe melanjutkan perjalanan ke Yerusalem melalui laut. Richard berhasil menaklukan pulau Siprus dalam perjalanannya, namun ia merebutnya dari kerabat Kaisar Bizantium, sehingga sejak itu Bizantium memusuhi Richard. Pasukan Prancis dan Inggris kemudian melanjutkan perang dengan mengepung Akre, pelabuhan utama di kawasan tersebut. Setelah mengepung selama hampir dua tahun, mereka baru berhasil menaklukannya. Richard membunuh 2700 tawanan di Akre karena tebusan mereka tidak dibayar hingga batas waktu yang ia tetapkan.

Setelah menang di Akre, Philippe tak mau lagi melanjutkan perang. Ia memilih untuk pulang ke Prancis, di mana kemudian ia sibuk menyerang wilayah-wilayah milik Richard di Prancis. Dengan demikian hanya Richard dan pasukan Inggrisnya yang masih bertahan untuk melanjutkan perang. Dalam keadaan seperti itu, Richard tak mampu mengalahkan Salahuddin sehingga akhirnya pada 1192 M, ia dan Salahuddin menyepakati kesepakatan damai. Isi kesepakatan itu adalah bahwa peziarah Kristen diperbolehkan keluar-masuk Yerusalem secara bebas, dan Salauddin tidak menyerang sisa-sisa kerajaan Kristen selama bertahun-tahun tahun ke depan. Dengan disepakatinya perjanjian itu, Richard pun pulang ke Inggris.

Namun ketika melintasi Jerman, Richard ditangkap oleh kaisar baru Jerman, Heinrich VI. Heinrich tak menyukai Richard karena Richard pernah berjanji akan membantu Raja Tancred dari Sisilia untuk melawan Heinrich. Heinrich memenjarakan Richard dan mengirim pesan kepada saudara Richard, John, yang isinya meminta tebusan untuk ditukarkan dengan Rihcard. Tebusan yang diminta Heinrich amat besar, bahkan pada akhirnya John harus membayar uang sejumlah tiga kali pendapatan tahunan Inggris. Untuk memeroleh uang tebusan, John menyuruh rakyat membayar pajak tambahan. Richard akhirnya berhasil pulang ke Inggris pada 1194 M.

Perang Salib Pertama dilancarkan pada 1095 oleh Paus Urban II untuk mengambil kuasa kota suci Yerusalem dan tanah suci Kristen dari Muslim. Apa yang dimulai sebagai panggilan kecil untuk meminta bantuan dengan cepat berubah menjadi migrasi dan penaklukan keseluruhan wilayah di luar Eropa. Baik ksatria dan orang awam dari banyak negara di Eropa Barat, dengan sedikit pimpinan terpusat, berjalan melalui tanah dan laut menuju Yerusalem dan menangkap kota tersebut pada Juli 1099, mendirikan Kerajaan Yerusalem atau kerajaan Latin di Yerusalem. Meskipun penguasaan ini hanya berakhir kurang dari dua ratus tahun, Perang salib merupakan titik balik penguasaan dunia Barat, dan satu-satunya yang berhasil meraih tujuannya. Meskipun menjelang abad kesebelas sebagian besar Eropa memeluk agama Kristen secara formal — setiap anak dipermandikan, hierarki gereja telah ada untuk menempatkan setiap orang percaya di bawah bimbingan pastoral, pernikahan dilangsungkan di Gereja, dan orang yang sekarat menerima ritual gereja terakhir — namun Eropa tidak memperlihatkan diri sebagai Kerajaan Allah di dunia. Pertikaian selalu bermunculan di antara pangeran-pangeran Kristen, dan peperangan antara para bangsawan yang haus tanah membuat rakyat menderita. Pada tahun 1088, seorang Perancis bernama Urbanus II menjadi Paus. Kepausannya itu ditandai dengan pertikaian raja Jerman, Henry IV — kelanjutan kebijakan pembaruan oleh Paus Gregorius VIII yang tidak menghasilkan apa-apa. Paus yang baru ini tidak ingin meneruskan pertikaian ini. Tetapi ia ingin menyatukan semua kerajaan Kristen. Ketika Kaisar Alexis dari Konstantinopel meminta bantuan Paus melawan orang-orang Muslim Turki, Urbanus melihat bahwa adanya musuh bersama ini akan membantu mencapai tujuannya. Tidak masalah meskipun Paus telah mengucilkan patriark Konstantinopel, serta Katolik dan Kristen Ortodoks Timor tidak lagi merupakan satu gereja. Urbanus mencari jalan untuk menguasai Timur, sementara ia menemukan cara pengalihan bagi para pangeran Barat yang bertengkar terus. Pada tahun 1095 Urbanus mengadakan Konsili Clermont. Di sana ia menyampaikan kotbahnya yang menggerakkan: "Telah tersebar sebuah cerita mengerikan ... sebuah golongan terkutuk yang sama sekali diasingkan Allah ... telah menyerang tanah (negara) orang Kristen dan memerangi penduduk setempat dengan pedang, menjarah dan membakar." Ia berseru: "Pisahkanlah daerah itu dari tangan bangsa yang jahat itu dan jadikanlah sebagai milikmu." "Deus vult! Deus vult! (Allah menghendakinya)," teriak para peserta. Ungkapan itu telah menjadi slogan perang pasukan Perang Salib. Ketika para utusan Paus melintasi Eropa, merekrut para ksatria untuk pergi ke Palestina, mereka mendapatkan respons antusias dari pejuang-pejuang Perancis dan Italia. Banyak di antaranya tersentak karena tujuan agamawi, tetapi tidak diragukan juga bahwa yang lain berangkat untuk keuntungan ekonomi. Ada juga yang ingin berpetualang merampas kembali tanah peziarahan di Palestina, yang telah jatuh ke tangan Muslim. Mungkin, para pejuang tersebut merasa bahwa membunuh seorang musuh non-Kristen adalah kebajikan. Membabat orang-orang kafir yang telah merampas tanah suci orang Kristen tampaknya seperti tindakan melayani Allah. Untuk mendorong tentara Perang Salib, Urbanus dan para paus yang mengikutinya menekankan "keuntungan" spiritual dari perang melawan orang-orang Muslim itu. Dari sebuah halaman Bible, Urbanus meyakinkan para pejuang itu bahwa dengan melakukan perbuatan ini, mereka akan langsung masuk surga, atau sekurang-kurangnya dapat memperpendek waktu di api penyucian. Dalam perjalanannya menuju tanah suci, para tentara Perang Salib berhenti di Konstantinopel. Selama mereka ada di sana, hanya satu hal yang ditunjukkan: Persatuan antara Timur dan Barat masih mustahil. Sang kaisar melihat para prajurit yang berpakaian besi itu sebagai ancaman bagi takhtanya. Ketika para tentara Perang Salib mengetahui bahwa Alexis telah membuat perjanjian dengan orang-orang Turki, mereka merasakan bahwa "pengkhianat" ini telah menggagalkan bagian pertama misi mereka: menghalau orang-orang Turki dari Konstantinopel. Dengan bekal dari sang kaisar, pasukan tersebut melanjutkan perjalanannya ke selatan dan timur, menduduki kota-kota Antiokhia dan Yerusalem. Banjir darah mengikuti kemenangan mereka di Kota Suci itu. Taktik para tentara Perang Salib ialah "tidak membawa tawanan". Seorang pengamat yang merestui tindakan tersebut menulis bahwa para prajurit "menunggang kuda mereka dalam darah yang tingginya mencapai tali kekang kuda". Setelah mendirikan kerajaan Latin di Yerusalem, dan dengan mengangkat Godfrey dari Bouillon sebagai penguasanya, mereka berubah sikap, dari penyerangan ke pertahanan. Mereka mulai membangun benteng-benteng baru, yang hingga kini, sebagian darinya masih terlihat. Pada tahun-tahun berikutnya, terbentuklah ordo-ordo baru yang bersifat setengah militer dan setengah keagamaan. Ordo paling terkenal adalah Ordo Bait Allah (bahasa Inggris: Knights Templars) dan Ordo Rumah Sakit (bahasa Inggris: Knights Hospitalers). Meskipun pada awalnya dibentuk untuk membantu para tentara Perang Salib, mereka menjadi organisasi militer yang tangguh dan berdiri sendiri. Perang Salib pertama merupakan yang paling sukses. Meskipun agak dramatis dan bersemangat, berbagai upaya kemiliteran ini tidak menahan orang-orang Muslim secara efektif. 1. Perang Salib Rakyat. Perang Salib Rakyat adalah bagian dari Perang Salib pertama dan berakhir kira-kira enam bulan dari April 1096 sampai Oktober. Perang ini juga dikenal sebagai Perang Salib Populer. 2.Perang Salib Jerman. Perang Salib Jerman 1096 adalah bagian dari Perang Salib pertama di mana tentara perang salib rakyat, kebanyakan dari Jerman, tidak menyerang Muslim namun orang Yahudi. Meskipun anti-semitisme telah ada di Eropa selama berabad-abad, ini merupakan pogrom massal pertama yang terorganisasi. Dalam beberapa kasus, otoritas dan pemimpin keagamaan berusaha melindungi orang Yahudi. 3. Perang Salib 1101 adalah sebuah perang salib dari 3 gerakan yang terpisah, diatur tahun 1100 dan 1101 setelah kesuksesan Perang Salib Pertama. Perang Salib Pertama yang berhasil menyarankan panggilan bantuan dari Kerajaan Yerusalem yang baru dibentuk, dan Paus Paschal II mendorong adanya ekspedisi baru. Ia terutama mendorong yang telah melakukan janji perang salib namun tidak pernah berangkat, dan yang telah memutar balik selama perjalanan. Beberapa orang ini telah menerima caci maki di rumahnya dan menghadapi tekanan agar kembali ke timur; Adela dari Blois, istri Stephen, Raja Blois, yang telah melarikan diri dari Pertempuran Antiokhia tahun 1098, juga sangat kecewa dengan suaminya bahwa dia tidak akan mempersilahkannya tinggal di rumah. 4. Perang Salib Kedua

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. Peta tahun 1140 yang menunjukan jatuhnya Edessa di sebelah kanan peta, yang merupakan sebab terjadinya Perang Salib Kedua. Perang Salib Kedua (berlangsung dari sekitar tahun 1145 hingga tahun 1149) adalah Perang Salib kedua yang dilancarkan dari Eropa, yang dilaksanakan karena jatuhnya Kerajaan Edessa pada tahun sebelumnya. Edessa adalah negara-negara Tentara Salib yang didirikan pertama kali selama Perang Salib Pertama (1095–1099), dan juga yang pertama jatuh. Perang Salib Kedua diumumkan oleh Paus Eugenius III, dan merupakan Perang Salib pertama yang dipimpin oleh raja-raja Eropa, yaitu Louis VII dari Perancis dan Conrad III dari Jerman, dengan bantuan dari bangsawan-bangsawan Eropa penting lainnya. Pasukan-pasukan kedua raja tersebut bergerak menyebrangi Eropa secara terpisah melewati Eropa dan agak terhalang oleh kaisar Bizantium, Manuel I Comnenus; setelah melewati teritori Bizantium ke dalam Anatolia, pasukan-pasukan kedua raja tersebut dapat ditaklukan oleh orang Seljuk. Louis, Conrad, dan sisa dari pasukannya berhasil mencapai Yerusalem dan melakukan serangan yang "keliru" ke Damaskus pada tahun 1148. Perang Salib di Timur gagal dan merupakan kemenangan besar bagi orang Muslim. Kegagalan ini menyebabkan jatuhnya Kota Yerusalem dan Perang Salib Ketiga pada akhir abad ke-12. Serangan-serangan yang berhasil hanya terjadi di luar laut Tengah. Bangsa Flem, Frisia, Normandia, Inggris, Skotlandia, dan beberapa tentara salib Jerman, melakukan perjalanan menuju Tanah Suci dengan kapal. Mereka berhenti dan membantu bangsa Portugis merebut Lisboa tahun 1147. Beberapa di antara mereka, yang telah berangkat lebih awal, membantu merebut Santarém pada tahun yang sama. Mereka juga membantu menguasai Sintra, Almada, Palmela dan Setúbal, dan dipersilahkan untuk tinggal di tanah yang telah ditaklukan, tempat mereka mendapatkan keturunan. Sementara itu, di Eropa Timur, Perang Salib Utara dimulai dengan usaha untuk merubah orang-orang yang menganut paganisme menjadi beragama Kristen, dan mereka harus berjuang selama berabad-abad.

Setelah terjadinya Perang Salib Pertama dan Perang Salib 1101, terdapat tiga negara tentara salib yang didirikan di timur: Kerajaan Yerusalem, Kerajaan Antiokhia, dan Kerajaan Edessa. Kerajaan Tripoli didirikan pada tahun 1109. Edessa adalah negara yang secara geografis terletak paling utara dari keempat negara ini, dan juga merupakan negara yang paling lemah dan memiliki populasi yang kecil; oleh sebab itu, daerah ini sering diserang oleh negara Muslim yang dikuasai oleh Ortoqid, Danishmend, dan Seljuk. Baldwin II dan Joscelin dari Courtenay ditangkap akibat kekalahan mereka dalam pertempuran Harran tahun 1104. Baldwin dan Joscelin ditangkap kedua kalinya pada tahun 1122, dan meskipun Edessa kembali pulih setelah pertempuran Azaz pada tahun 1125, Joscelin dibunuh dalam pertempuran pada tahun 1131. Penerusnya, Joscelin II, dipaksa untuk bersekutu dengan kekaisaran Bizantium, namun, pada tahun 1143, baik kaisar kekaisaran Bizantium, John II Comnenus dan raja Yerusalem Fulk dari Anjou, meninggal dunia. Joscelin juga bertengkar dengan Raja Tripoli dan Pangeran Antiokhia, yang menyebabkan Edessa tidak memiliki sekutu yang kuat. Sementara itu, Zengi, Atabeg dari Mosul, merebut Aleppo pada tahun 1128. Aleppo merupakan kunci kekuatan di Suriah. Baik Zengi dan raja Baldwin II mengubah perhatian mereka ke arah Damaskus; Baldwin dapat ditaklukan di luar kota pada tahun 1129. Damaskus yang dikuasai oleh Dinasti Burid, nantinya bersekutu dengan raja Fulk ketika Zengi mengepung kota Damaskus pada tahun 1139 dan tahun 1140; aliansi dinegosiasikan oleh penulis kronik Usamah ibn Munqidh. Pada akhir tahun 1144, Joscelin II bersekutu dengan Ortoqid dan menyerang Edessa dengan hampir seluruh pasukannya untuk membantu Ortoqid Kara Aslan melawan Aleppo. Zengi, yang ingin mengambil keuntungan dalam kematian Fulk pada tahun 1143, dengan cepat bergerak ke utara untuk mengepung Edessa, yang akhirnya jatuh ketangannya setelah 1 bulan pada tanggal 24 Desember 1144. Manasses dari Hierges, Philip dari Milly dan lainnya dikirim ke Yerusalem untuk membantu, tetapi mereka sudah terlambat. Joscelin II terus menguasai sisa Turbessel, tetapi sedikit demi sedikit sisa daerah tersebut direbut atau dijual kepada Bizantium. Zengi sendiri memuji Islam sebagai "pelindung kepercayaan" dan al-Malik al-Mansur, "raja yang berjaya". Ia tidak menyerang sisa teritori Edessa, atau kerajaan Antiokhia, seperti yang telah ditakuti; peristiwa di Mosul memaksanya untuk pulang, dan ia sekali lagi mengamati Damaskus. Namun, ia dibunuh oleh seorang budak pada tahun 1146 dan digantikan di Aleppo oleh anaknya, Nuruddin. Joscelin berusaha untuk merebut kembali Edessa dengan terbunuhnya Zengi, tapi Nuruddin dapat mengalahkannya pada November 1146.

Berita jatuhnya Edessa diberitakan oleh para peziarah pada awal tahun 1145, lalu kemudian oleh duta besar dari Antiokhia, Yerusalem dan Armenia. Uskup Hugh dari Jabala melaporkan berita ini kepada Paus Eugenius III, yang menerbitkan papal bull Quantum praedecessores pada tanggal 1 Desember 1145, yang memerintahkan dilaksanakannya Perang Salib Kedua. Hugh juga memberitahu Paus bahwa seorang raja Kristen timur diharapkan akan memberi pertolongan kepada negara-negara tentara salib: ini merupakan penyebutan Prester John yang pertama kali didokumentasikan. Eugenius tidak menguasai Roma dan tinggal di Viterbo, namun demikian, perang salib diartikan untuk lebih mengatur dan menguasai daripada Perang Salib Pertama: beberapa pendeta akan diterima oleh paus, angkatan bersenjata akan dipimpin oleh raja-raja terkuat dari Eropa, dan rute penyerangan akan direncanakan. Tanggapan terhadap papal bull perang salib sedikit, dan harus dikeluarkan kembali saat Louis VII akan mengambil bagian dalam ekspedisi. Louis VII dari Perancis juga telah memikirkan ekspedisi baru tanpa campur tangan Paus, di mana ia mengumumkan kepada istanannya di Bourges pada tahun 1145. Hal ini diperdebatkan saat Louis merencanakan perang salibnya sendiri, saat ia hendak memenuhi janjinya kepada saudaranya, Phillip, bahwa ia akan pergi ke Tanah Suci, di mana ia akhirnya dihentikan oleh kematian. Mungkin Louis memilih pilihannya dengan bebas dengan mendengar tentang Quantum Praedecessores. Dalam beberapa hal, Kepala Biara Suger dan bangsawan lainnya tidak senang dengan rencana Louis, di mana ia akan pergi dari kerajaan selama beberapa tahun. Louis berkonsultasi dengan Bernard dari Clairvaux, yang menyuruhnya menemui kembali ke Eugenius. Kini Louis telah mendengar tentang papal bull, dan Eugenius dengan penuh semangat mendukung perang salib Louis. Papal Bull dikeluarkan kembali pada tanggal 1 Maret 1146, dan Paus Eugenius memberikan kekuasaan kepada Bernard untuk berceramah di Perancis.

Tidak terdapat antusias populer untuk perang salib sebagaimana telah ada tahun 1095 sampai tahun 1096. Namun, St. Bernard, salah satu orang terkenal diantara umat nasrani pada saat itu, menemukan jalan bijaksana untuk mengambil salib sebagai arti mendapat pengampunan dari dosa dan mencapai keagungan. Pada 31 Maret, dengan persembahan Louis, dia menasehati keramaian di lapangan di Vézelay. Bernard berorasi, dan orang-orang naik dan berteriak "Salib, berikan kami salib!", dan mereka pergi untuk membuat salib. Tidak seperti perang salib pertama, perang salib kedua menarik perhatian keluarga rajam seperti Eleanor dari Aquitaine, Ratu Perancis, Thierry dari Elsas, Graf Flander, Henry, yang nantinya akan menjadi graf Champagne, saudara Louis Robert I dari Dreux, Alphonse I dari Tolosa, William II dari Nevers, William de Warenne, pangeran ketiga Surrey, Hugh VII dari Lusignan, dan bangsawan dan uskup lainnya. Tapi bantuan lebih banyak muncul dari orang-orang. St. Bernard menulis kepada uskup beberapa hari kemudian: "Saya buka mulut saya, saya berbicara, dan dan akhirnya Tentara Salib berjumlah menjadi tak terbatas. Desa dan Kota sekarang ditinggalkan. Anda akan baru saja menemukan 1 laki-laki untuk 7 wanita. Dimana-mana anda akan melihat janda yang suaminya masih hidup". Akhirnya disetujui bahwa tentara salib akan berangkat dalam 1 tahun, selama waktu ini mereka akan membuat persiapan dan membuat jalur menuju tanah suci. Louis dan Eugenius menerima bantuan dari pemimpin-pemimpin dimana daerah mereka akan dilewati: Geza dari Hongaria, Roger II dari Sisilia, dan kaisar Bizantium, Manuel I Comnenus, meskipun Manuel ingin tentara salib untuk bersumpah kesetiaannya kepadanya, seperti yang diminta Kakeknya, Alexius I Comnenus. Sementara itu, St. Bernard melanjutkan untuk berkhotbah di Burgundi, Lorraine, dan Flanders. Seperti pada Perang Salib Pertama, khotbah membuat serangan kepada orang Yahudi; seorang pendeta fanatik Jerman bernama Rudolf adalah orang yang membuat terjadinya pembantaian orang Yahudi di Cologne, Mainz, Worms, dan Speyer, dengan Rudolf mengklaim orang Yahudi tidak berkontribusi secara finansial untuk menolong tanah suci. St. Bernard dan uskup besar dari Cologne dan Mainz dengan hebat menentang penyerangan itu, dan juga St. Bernard mengunjungi dari Flanders ke Jerman untuk mengatasi masalah itu, dan juga St. Bernard meyakinkan para pendengar Rudolf untuk mengikutinya. Bernard lalu menemukan Rudolf di Mainz dan berhasil mendiamkannya, dan mengembalikannya ke biara. Saat masih di Jerman, St. Bernard juga berkhotbah kepada Conrad III dari Jerman pada bulan November tahun 1146, tapi Conrad tidak tertarik untuk berpartisipasi, Bernard melanjutkan perjalanannya untuk berkhotbah di Jerman Selatan dan Swiss. Namun, dalam perjalanannya pulang pada bukan Desember, dia berhenti di Speyer, dimana, dalam kehadiran Conrad, dia mengantarkan khotbah emosional dimana dia mengambil peran Yesus dan bertanya apa yang akan dia lakukan untuk kaisar. Lalu Bernard berteriak "Orang!", "apa yang sebaikinya aku lakukan untukmu yang tidak pernah kulakukan?" Conrad tidak bisa melawan lagi dan bergabung dengan perang salib dengan banyak bangsawannya, termasuk Frederick II. Seperti di Kota Vézelay, banyak orang juga ikut perang salib di Jerman. Paus juga memimpin perang salib di Spanyol, meskipun perang melawan orang Moor masih terjadi untuk beberapa waktu. Dia memberikan Alfonso VII dari Kastilia indulgensi yang sama ia berikan kepada tentara salib Perancis, dan seperti yang dilakukan Paus Urban II tahun 1095, membuat orang Spanyol untuk bertarung untuk teritorinya sendiri daripada bergabung dengan tentara salib. Dia memimpin Marseille, Pisa, Genoa, dan kota lainnya untuk bertarung di Spanyol, tapi bagaimanapun memaksa orang Italia, seperti Amadeus III dari Savoy untuk pergi ke timur. Eugenius tidak mau Conrad berpartisipasi, dan berharap bahwa dia akan memberikan bantuan kerajaan untuk klaimnya terhadap kepausan, tapi dia tidak melarangnya untuk pergi. Eugenius III juga memimpin sebuah tentara salib di Jerman untuk melawan Wend, yang adalah penganut pagan. Perang telah terjadi untuk beberapa waktu antara orang Jerman dan orang Wend, dan mengambil bujukan Bernard untuk mempersilahkan indulgensi diumumkan untuk Tentara Salib Wend. Ekspedisi ini tidak seperti tentara salib tradisional, ini adalah ekspansi melawan pagan daripada melawan orang Muslim, dan tidak dihubungkan dengan pertahanan tanah suci. Perang Salib Kedua melihat melihat perkembangan menarik dalam arena baru perjalanan perang salib.

Pada tanggal 16 Februari 1147, tentara salib Perancis mendiskusikan tentang rute penyerangan mereka nantinya. Mereka mendiskusikan hal itu di Kota Étampes. Orang Jerman telah memilih untuk berpetualang melewati Hongaria, dimana Roger II musuh dari Conrad dan jalur laut tidak dapat dijalankan. Banyak bagnsawan Perancis tidak percaya jalur darat, dimana akan membawa mereka ke kekaisaran Bizantium, reputasi masih menderita dari First Crusaders. Meskipun dipilih untuk mengikuti Conrad, dan untuk memulainya pada tanggal 15 Juni. Roger II melawan dan menolak untuk berpartisipasi. Di Perancis, Kepala Biara Suger dan Raja William dari Nevers dipilih sebagai pengawas selama Raja sedang pergi berpartisipasi dalam perang salib. Di Jerman, khotbah lebih jauh dilakukan oleh Adam dari Ebrach, dan Otto dari Freising juga mengambil salib. Pada 13 Maret di Frankfurt, anak Conrad, Frederick IV dipilih sebagai raja, dibawah pengawasan Henry, Keuskupan Agung Mainz. Jerman berencana untuk maju pada bulan Mei dan bertemu orang Perancis di Konstantinopel. Selama pertemuan itu, pangeran Jerman yang lain memperluas ide perang salib kepada etnis Slavia yang tinggal di timur laut dari Kekaisaran Romawi Suci, dan dipimpin oleh Bernard untuk mengirim perang salib terhadap mereka. Pada 13 April, Eugenius mengkonfirmasi perang salib ini, membandingkan perang salib di Spanyol dan Palesitan. Dan pada tahun 1147, Perang Salib Wend juga muncul. Pada pertengahan bulan Mei, rombongan pertama mens/thumb/5/55/AfonsoI-P.jpg/180px-AfonsoI-Pninggalkan Inggris, terdiri dari orang Flem, Frisia, Normandia, Inggris, Skotlandia, dan beberapa tentara salib Jerman. Tidak ada pangeran atau raja memimpin bagian perang salib ini; Inggris pada saat itu di tengah-tengah anarkisme. Mereka tiba di Porto pada bulan Juni, dan diyakinkan oleh uskup untuk melanjutkan perjalanan menuju Lisboa, dimana Raja Alfonso telah pergi saat mendengar armada tentara salib menuju kesitu. Pengepungan Lisboa dimulai pada 1 Juli dan berakhir pada 24 Oktober saat kota itu jatuh ketangan tentara salib. Beberapa tentara salib bertahan di kota baru yang baru direbut, dan Gilbert dari Hastings dipilih sebagai uskup, tapi banyak armada melanjutkan ke timur pada Februari 1148. Hampir pada waktu yang sama, orang Spanyol dibawah Alfonso VII dari Kastilia dan Ramon Berenguer IV dan lainnya merebut Almería. Pada tahun 1148 dan 1149, mereka juga merebut Tortosa, Fraga, dan Lerida.

Tentara Salib Jerman, tediri dari Franconia, Bavaria, dan Swabia meninggalkan tanah mereka, juga pada Mei 1147. Ottokar III dari Styria bergabung dengan Conrad di Wina, dan musuh Conrad, Geza II dari Hongaria akhirnya membiarkan mereka lewat tanpa dilukai. Saat pasukan tiba di tertori Kekaisaran Bizantium, Manuel takut mereka akan menyerang Bizantium, dan pasukan Bizantium bertugas agar tidak ada masalah apapun. Ada pengepungan kecil dengan beberapa orang Jerman yang tidak mau menurut di dekat Philippopolis dan di Adrianopel, dimana Jendral Bizantium Prosouch bertarung dengan keponakan Conrad, yang nantinya akan menjadi kaisar, Frederick. Hal yang membuat semakin buruk adalah beberapa pasukan Jerman tewas karena banjir pada awal bulan September. Pada 10 September, mereka tiba di Konstantinopel, dimana relasi dengan Manuel kecil dan orang Jerman dipersilahkan untuk menyebrang menuju Asia Kecil secepat mungkin. Manuel mau Conrad meninggalkan beberapa pasukannya dibelakang, untuk membantunya bertahan melawan serangan dari Roger II, yang telah mengambil kesempatan untuk untuk merebut kota-kota di Yunani, tapi Conrad menolak, walaupun adalah musuh dari Roger. Di Asia Kecil, Conrad memilih untuk tidak menunggu orang Perancis, dan maju menyerang Iconium, ibukota Kesultanan Rum. Conrad memisahkan pasukannya menjadi 2 divisi, 1 dihancurkan oleh Seljuk pada tanggal 25 Oktober 1147 pada Pertempuran Kedua Dorylaeum. Orang Turki Seljuk menggunakan taktiknya dalam berpura-pura mundur, lalu membalas menyerang pasukan kecil kavalri Jerman yang telah terpisah dari pasukan utama untuk mengejar mereka. Conrad mulau mundur ke Konstantinopel, dan pasukannya diganggu oleh Turki Seljuk, yang menyerang dan menaklukan penjaga depan. Bahkan Conrad terluka saat bertarung dengan mereka. Divisi yang lain, dipimpin oleh Otto dari Freising, maju ke selatan pantai Mediterania dan ditaklukan pada awal tahun 1148.

Tentara Salib Perancis berangkat dari Metz pada bulan Juni, dipimpin oleh Louis, Thierry dari Elsas, Renaut I dari Bar, Amadeus III dari Savoy dan saudaranya, William V dari Montferrat, William VII dari Auvergne, dan lain-lain, bersama dengan pasukan Lorraine, Bretagne, Burgundi, dan Aquitaine. Pasukan dari Provence, dipimpin oleh Alphonse dari Tolosa, memilih untuk menunggu sampai bulan Agustus. Di Worms, Louis bergabung dengan tentara salib dari Normandia dan Inggris. Mereka mengikuti rute Conrad dengan damai, meskipun Louis datang dalam konflik dengan Geza dari Hongaria sat Geza menemukan Louis telah mempersilahkan orang Hongaria untuk bergabung dengan pasukannya. Relasi dengan Bizantium juga kecil, dan Lorrainer, yang telah maju, juga datang dengan konflik dengan orang Jerman yang perjalanannya lebih lambat. Sejak negosiasi awal diantara Louis dan Manuel, Manuel telah melaksanakan kampanye militer melawan Kesultanan Rüm, menandatangani gencatan senjata dengan Mas'ud. Ini telah dilakukan sehingga Manuel bebas mengkonsentrasikan pertahanan kekaisarannya dari tentara salib, yang telah mendapat reputasi untuk pencurian dan penghianatan sejak Perang Salib Pertama dan dituduh melakukan hal jahat di Konstantinopel. Relasi Manuel dengan pasukan Perancis lebih baik daripada dengan orang Jerman, dan Luis terhibur di Konstantinopel. Beberapa orang Perancis marah karena gencatan senjata Manuel dengan Seljuk dan melakukan penyerangan di Konstantinopel, tapi mereka dikendalikan oleh papal legate. Saat pasukan dari Savoy, Auvergne, dan Montferrat bergabung dengan Louis di Konstantinopel, melewati Italia dan menyebrang dari Brindisi menuju Durres, seluruh pasukan perahu mereka menyebrangi Bosporus menuju Asia Kecil. Dalam tradisi yang dibuat oleh Kakek dari Manuel, Alexios I, Manuel menyuruh orang Perancis untuk mengembalikan teritori manapun yang direbutnya kepada Bizantium. Mereka disemangati oleh rumor bahwa orang Jerman telah merebut Iconium, tapi Manuel menolak memberi Louis satupun pasukan Bizantium. Bizantium baru saja diserang oleh Roger II dari Sisilia, dan semua pasukan Manuel diperlukan di Balkan. Baik Jerman dan Perancis memasuki Asia tanpa bantuan Bizantium, tidak seperti Perang Salib Pertama. Orang Perancis bertemu sisa dari pasukan Conrad di Nicea, dan Conrad bergabung dengan pasukan Louis. Mereka mengikuti rute Otto dari Freising sepanjang pantai Mediterania, dan mereka tiba di Efesus pada bulan Desember, dimana mereka mempelajari kalau Turki Seljuk menyiapkan penyerangan untuk menyerang mereka. Manuel juga mengirim duta besar yang mengkomplain tentang menjarah dan merampas yang Louis lakukan disepanjang jalan, dan tidak ada tanggung jawab kalau Bizantium akan membantu mereka melawan Turki Seljuk. Setelah itu, Conrad jatuh sakit dan kembali ke Konstantinopel, dimana Manuel memeriksanya, dan Louis, tidak mendengarkan peringatan serangan Seljuk, maju keluar Efesus. Seljuk menunggu menyerang, tapi dalam pertarungan kecil diluar Efesus, orang Perancis menang, Mereka mencapai Laodicea pada bulan Januari tahun 1148, hanya beberapa hari setelah pasukan Otto dari Freising dihancurkan di daerah yang sama. Melanjutkan serangan, barisan depan dibawah Amadeus dari Savoy terpisah dari sisa pasukan, dan pasukan Louis diikuti oleh orang Turki, yang tidak menyadarinya. Orang Turki tidak mengganggu dengan menyerang lebih jauh dan orang Perancis maju ke Adalia, yang telah dihancurkan dari jauh oleh Seljuk, yang juga telah membakar tanah untuk menghindari orang Perancis dari melengkapi makanannya, baik untuk diri mereka maupun untuk orang Perancis. Louis ingin untuk melanjutkan dengan tanah demi tanah, dan telah dipilih untuk mengumpulkan armada di Adalia dan berlabuh ke Antiokhia. Setelah terlambat selama 1 bulan karena badai, hampir semua kapal yang dijanjikan tidak tiba. Louis dan koleganya mengambil kapal untuk diri mereka sendiri, dimana sisa pasukan harus melanjutkan serangan jauh ke Antiokhia. Pasukan itu hampir dihancurkan seluruhnya, baik karena orang Turki maupun karena sakit.

Louis tiba di Antiokhia pada tanggal 19 Maret, setelah terlambat karena badai; Amadeus dari Savoy tewas di Siprus selama perjalanan. Louis disambut oleh paman dari Eleanor, Raymond. Raymond mengharapkannya membantunya bertahan melawan Seljuk dan menemaninya dalam ekspedisi melawan Aleppo, tapi Louis menolak, dia lebih memilih untuk memasuki Yerusalem daripada fokus dalam aspek militer. Eleanor menikmatinya, tapi pamannya mau dia tetap disitu dan menceraikan Louis jika dia menolak membantunya. Louis segera meninggalkan Antiokhia dan pergi ke Kerajaan Tripoli. Setelah itu, Otto dari Freising dan sisa pasukannya tiba di Jerusalam pada awal April, setelah itu Conrad segera sampai, dan Fulk, Patriarch dari Yerusalem, dikirim untuk mengundang Louis bergabung dengan mereka. Armada yang berhenti di Lisboa tiba pada saat ini, dan juga orang Provencals dibawah Aphonse dari Tolosa. Alphonse sendiri telah tewas dalam perjalanan menuju Yerusalem, diracuni oleh Raymond II dari Tripoli, keponakannya yang takut akan aspirasi politiknya di Tripoli.

Di Yerusalem, fokus perang salib berubah di Damaskus, target yang diincar oleh Raja Baldwin III dan Ksatria Templar. Conrad didesak untuk mengambil bagian dalam ekspedisi ini. Saat Louis tiba, Haute Cour bertemu di Akko pada tanggal 24 Juni. Ini adalah pertemuan paling spektakular dari Cour dalam keberadaannya: Conrad, Otto, Henry II dari Austria, Frederick I, dan William V dari Montferrat mewakili Kekaisaran Romawi Suci; Louis, Bertrand anak dari Alphonse, Thierry dari Elsas, dan raja lainnya mewakili Perancis; dan dari Yerusalem, Raja Baldwin, Ratu Melisende, Patriarch Fulk, Robert dari Craon, Raymond du Puy de Provence, Manasses dari Hierges, Humphrey II dari Toron, Philip dari Milly, dan Barisan dari Ibelin. Catatan, tidak ada yang datang dari Antiokhia, Tripoli, ataupun dari Edessa datang. Beberapa orang Perancis menyadari kalau kewajiban mereka terpenuhi, dan mau pulang; beberapa bangsawan Yerusalem menunjuk bahwa tidak bijaksana untuk menyerang Damaskus, sekutu mereka melawan Dinasti Zengid. Conrad, Louis, dan Baldwin berisikeras, dan pada bulan Juli, pasukan itu bersiap di Tiberias.

Tentara Salib memilih untuk menyerang Damaskus dari timur, dimana kebun akan memberi mereka makanan konstan. Mereka tiba pada tanggal 23 Juli, dengan pasukan Yerusalem di garis depan, diikuti dengan Louis dan lalu Conrad sebagai penjaga belakang. Orang Muslim berisap untuk serangan dan langsung menyerang pasukan yang maju menuju perkebunan. Pasukan Salib mampu melawan mereka dan mengejar mereka kembali ke Sungai Barada dan menuju Damaskus; setelah tiba diluar tembok kota, mereka langsung menyerang Damaskus. Damaskus telah meminta bantuan dari Saifuddin Ghazi I dari Aleppo dan Nuruddin dari Mosul, dan vizier, Mu'inuddin Unur, memimpin serangan yang tidak berhasil pada kemah pasukan salib. Ada konflik pada kedua kemah: Unur tidak mempercayai Saifuddin atau Nuruddin dari menguasai seluruh kota jika mereka menawarkan bantuan; dan pasukan salib tidak setuju siapa yang akan mendapatkan kota jika mereka merebutnya. Pada 27 Juli, pasukan salib memilih untuk bergerak ke bagian timur kota, yang lebih sedikit pertahanannya, tetapi memiliki sedikit persediaan makanan dari air. Nuruddin telah tiba dan tidak mungkin untuk kembali ke posisi mereka yang terbaik. Pertama Conrad, lalu sisa dari pasukan, memilih untuk mundur ke Yerusalem.

Semua sisi merasa dikhianati oleh yang lain. Rencana lain baru dibuat untuk menyerang Ascalon, dan Conrad membawa pasukannya kesana, tapi tidak ada bantuan tiba, karena tidak ada kepercayaan karena kegagalan serangan Damaskus. Ekspedisi Ascalon ditinggalkan, dan Conrad kembali ke Konstantinopel, dimana Louis tetap berada di Yerusalem sampai tahun 1149. Kembali ke Eropa, Bernard dari Clairvaux juga dipermalukan, dan ketika dia hendak memanggil perang salib yang gagal, dia mencoba memisahkan dirinya dari fiasco perang salib kedua. Dia meninggal pada tahun 1153. Serangan Damaskus membawa malapetaka kepada Yerusalem: Damaskus tidak lagi percaya kepada Kerajaan Tentara Salib, dan Kota itu diambil oleh Nuruddin pada tahun 1154. Baldwin III akhirnya mengepung Ascalon pada tahun 1153, dimana membawa Mesir kedalam konflik ini. Yerusalem mampu membuat kemajuan memasuki Mesir, dengan singkat merebut Kairo pada tahun 1160. Namun, relasi dengan Kekaisaran Bizantium dicampur, dan bantuan dari barat jarang setelah bencana dari perang salib kedua. Raja Amalric I dari Yerusalem bersekutu dengan Bizantium dan berpartisipasi dalam invasi Mesir tahun 1169, tapi ekspedisi ini gagal. Pada tahun 1171, Saladin, keponakan dari salah satu jendarl Nuruddin, menjadi Sultan Mesir, mempersatukan Mesir dan Siria dan mengepung kerajaan tentara Salib. Setelah itu, aliansi dengan Bizantium berakhir dengan kematian kaisar Manuel I pada tahun 1180, dan pada tahun 1187, Yerusalem diserang dan direbut oleh Saladin. Pasukannya lalu menyebar ke utara dan merebut semua ibukota dari semua daerah yang direbut tentara salib, menyulut terjadinya Perang Salib Ketiga.   Referensi: Pustaka utama * Anonymous. De expugniatione Lyxbonensi. The Conquest of Lisbon. Edited and translated by Charles Wendell David. Columbia University Press, 1936. * Odo dari Deuil. De profectione Ludovici VII in orientem. Edited and translated by Virginia Gingerick Berry. Columbia University Press, 1948. * Otto dari Freising. Gesta Friderici I Imperatoris. The Deeds of Frederick Barbarossa. Edited and translated by Charles Christopher Mierow. Columbia University Press, 1953. * The Damascus Chronicle of the Crusaders, extracted and translated from the Chronicle of Ibn al-Qalanisi. Edited and translated by H. A. R. Gibb. London, 1932. * William dari Tirus. A History of Deeds Done Beyond the Sea. Edited and translated by E. A. Babcock and A. C. Krey. Columbia University Press, 1943. * O City of Byzantium, Annals of Niketas Choniatēs, trans. Harry J. Magoulias. Wayne State University Press, 1984. * John Cinnamus, Deeds of John and Manuel Comnenus, trans. Charles M. Brand. Columbia University Press, 1976. Pustaka kedua * Michael Gervers, ed. The Second Crusade and the Cistercians. St. Martin's Press, 1992. * Jonathan Phillips and Martin Hoch, eds. The Second Crusade: Scope and Consequences. Manchester University Press, 2001. * Steven Runciman, A History of the Crusades, vol. II: The Kingdom of Jerusalem and the Frankish East, 1100-1187. Cambridge University Press, 1952. * Kenneth Setton, ed. A History of the Crusades, vol. I. University of Pennsylvania Press, 1958 (available online) Posted by Rifan Syambodo Categories: Label:

TOKOH-TOKOH PERANG SALIB

Perang Salib adalah kumpulan gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh kaum Kristiani pada periode 1095 – 1291; biasanya direstui oleh Paus atas nama Agama Kristen, dengan tujuan untuk menguasai kembali Yerusalem dan “Tanah Suci” dari kekuasaan kaum Muslim, awalnya diluncurkan sebagai jawaban atas permintaan dari Kekaisaran Bizantium yang beragama Kristen Ortodoks Timur untuk melawan ekspansi dari Dinasti Seljuk yang beragama Islam ke Anatolia. Inilah tokoh-tokoh yang berpengaruh pada Perang Salib.

Salahuddin Ayyubi adalah seorang jenderal dan pejuang muslim Kurdi dari Tikrit (daerah utara Irak saat ini). Ia mendirikan Dinasti Ayyubiyyah di Mesir, Suriah, sebagian Yaman, Irak, Mekkah Hejaz dan Diyar Bakr. Salahuddin terkenal di dunia Muslim dan Kristen karena kepemimpinan, kekuatan militer, dan sifatnya yang ksatria dan pengampun pada saat ia berperang melawan Tentara Salib. Sultan Salahuddin Al Ayyubi juga adalah seorang ulama. Ia memberikan catatan kaki dan berbagai macam penjelasan dalam kitab hadits Abu Dawud, ia adalah orang yang berhasil menaklukan Yerussalem.

Richard I (6 September 1157 – 6 April 1199) adalah raja Inggris antara tahun 1189 sampai 1199. Ia sering juga dijuluki Richard si Hati Singa (Inggris: Lion heart, Perancis: Cœur de Lion) karena keberaniannya. Ia adalah anak ketiga dari Henry II dari Inggris, dan merebut tahta Inggris dari ayahnya dengan bekerja sama dengan Phillip II dari Perancis pada tahun 1189. Richard I terkenal sebagai salah satu tokoh dalam Perang Salib, di mana salah satu keberhasilannya dalam perang tersebut adalah merebut Siprus untuk mendukung pasukan Perang Salib. setelah sampai di Acre Richard kemudian merebut Kota Acre pada tahun 1191 dan kemudian Richard mulai mengarahkan pasukannya untuk menyerbu Yerusalem. Pasukan Richard berjalan melalui garis pantai antara kota Acre dan Jaffa, ketika perjalanan menuju Kota Jaffa pasukan Richard dihadang pasukan Saladin dan terjadilah pertempuran di dekat kota Arsuf yang dimenangkan Richard dan memaksa Saladin mundur ke Yerusalem untuk bertahan. Richard akhirnya memasuki kota jaffa tanpa perlawanan karena kota sudah dibakar oleh Saladin.

Friedrich I Barbarossa[1] (1122 – 10 Juni 1190) adalah seorang Raja Jerman yang dipilih di Frankfurt pada tanggal 4 Maret 1152 dan dimahkotai di Aachen pada tanggal 9 Maret, dimahkotai sebagai Raja Italia di Pavia tahun 1154, dan dimahkotai sebagai Kaisar Kekaisaran Romawi Suci oleh Paus Adrianus IV tanggal 18 Juni 1155. Ia dimahkotai sebagai Raja Burgundi di Arles pada tanggal 30 Juni 1178.

Dracula yang selama ini digambarkan sebagai tokoh fiktif sebagai makhluk penghisap darah ternyata memang ada pada zaman Perang Salib, tetapi bukan sebagai kelelawar atau semacamnya yang digambarkan oleh Bram Stoker dalam bukunya, dia adalah makhluk kejam penyula rakyatnya. Pada waktu itu dia membantai lebih dari 10 ribu orang muslim, oleh karena itu dia diburu oleh Sultan Mehmed II. Akhirnya dia dipenggal di Danau Snagov. Jasadnya dikuburkan disana tetapi kepalanya di bawa ke Turki, setelah diteliti ternyata jenazahnya tidak ada.

Sultan Mehmed II nama aslinya adalah Muhammad Al-Fatih, dia menjadi Sultan Turki dan berhasil menaklukan Konstantinopel lewat aksinya yang sangat terkenal yang dikenal sebagai "Kapal yang Berlayar di Daratan" pada waktu itu dia memerintahkan prajurit untuk memindahkan kapalnya melewati gurun. Dia pula orang yang bermasalah dengan Dracula.

Baldwin IV (1161-16 Maret 1185), dengan julukan Kusta atau Lepra, anak Amalric I dari Yerusalem. Istri pertamanya, Agnes dari Courtenay, menjadi raja Yerusalem 1174-1185. Baldwin lahir di Yerussalem, separuh hidupnya dia jalani menghadapi penyakit lepra, dan pada tahun 1185 akhirnya dia meninggal karena penyakit yang di deritanya itu.   Sumber: http://azimuth29.blogspot.com

Hayton of Coricos/Public Domain

Kekalahan dari Pertempuran Homs pada 1281 membuat Kekaisaran Ilkhanat Mongol mencari cara untuk menaklukkan Mamluk, Mesir. Kekalahan ini mendorong Mongol beraliansi dengan Prancis yang tidak pernah membuahkan kemenangan mutlak dalam sejarah Perang Salib.

Nationalgeographic.co.id—Kembali ke sekitar abad ke-13, Kekaisaran Mongol merupakan kekuatan yang mengerikan bagi banyak peradaban di dunia. Mereka pun terlibat dalam Perang Salib yang kehadirannya menjadi ancaman nyata bagi kerajaan-kerajaan Islam Timur Tengah dan Kekristenan Eropa.

Mungkin kengerian terhadap bangsa Mongol hanya pada kerajaan-kerajaan di Eropa Timur terhadap Gerombolan Emas yang berbasis di Rusia dan Asia utara. Kenyataannya, beberapa kerajaan Kekristenan Eropa, khususnya Prancis, tertarik untuk membentuk aliansi dengan Kekaisaran Ilkhanat Mongol.

Pada masanya, Kekaisaran Ilkhanat berkuasa dari Tukri, Suriah, Iran, hingga sebagian Asia Tengah selama Perang Salib. Kekaisaran inilah yang sebelumnya menghancurkan Kekaisaran Abbasiyah dengan mengepung Bagdad pada 1258.

Jatuhnya Bagdad membuat Prancis menilai ulang pandangan mereka terhadap bangsa Mongol. Kondisinya saat itu, Prancis juga tengah berseteru dengan Inggris. Bersekutu dengan Mongol dapat melancarkan misi lama yang diserukan oleh paus untuk menguasai Tanah Suci.

Melihat Mongol dari kacamata Prancis

Ini bukan pertama kalinya Prancis bersekutu dengan bangsa non-Eropa untuk berperang di Timur Tengah. Pada abad ke-8 dan 9, mereka sempat bersekutu dengan Kekaisaran Abbasiyah untuk melawan Kekaisaran Umayyah.

Persekutuan itu bentuk pertama kali oleh Pepin si Pendek yang berkuasa di Prancis dari 751—768 dan Sultan al-Mansur yang berkuasa 754—775 di Abbasiyah. Hubungan ini berlanjut di bawah pemerintahan Charlemagne (berkuasa 768—814) dan Harun al-Rashid (berkuasa 786—809).

Ketika Perang Salib I usai, kegagalan melanda kerajaan-kerajaan Kekristenan di Eropa. Mereka sangat berharap akan adanya kekuatan dari Timur yang bisa menjadi sekutu, seperti Prancis dan Abbasiyah di masa lalu. Kerajaan-kerjaan Eropa berharap adanya kabar baik, terutama saat beredar rumor legenda Presbiter Yohanes dari Timur.

Setelah Perang Salib VII (1248—1254), bangsa Mongol datang menguasai dataran Persia. Kabar kekuatan baru dari Timur seperti ini sudah lama dinantikan. Hanya saja, kekuatan ini tidak berkaitan dengan Presbiter Yohanes. Bangsa Mongol sendiri datang dari Timur Jauh yang dipimpin oleh Khan Agung. Dari sinilah, Prancis mulai berpikir untuk beraliansi dengan Mongol.

Gustave Doré/Public Domain

Raja Prancis Louis IX atau Santo Louis ditangkap pada Perang Salib VII dalam Pertempuran Fariskur. Pertempuran ini membawa kegagalan Prancis saat bersekutu dengan Kekaisaran Ilkhanat Mongol untuk melawan Mamluk.

Mongol terbantukan dengan hadirnya Prancis

Sementara bagi bangsa Mongol, bangsa lain dianggap sebagai musuh, baik muslim maupun kristiani yang sedang berperang merebut Yerusalem. Namun, cara pandang mereka sedikit berbeda terhadap Prancis.

Bagi Kekaisaran Ilkhanat—bagian dari Kekaisaran Mongol di Persia—Kekaisaran Mamluk di Mesir adalah musuh utama. Pertempuran Ain Jalut tahun 1260 membawa kekalahan besar bagi Kekaisaran Ilkhanat. Kekalahan itu juga disebabkan karena Ilkhanat tidak bisa mengerahkan kekuatannya secara maksimal.

Ilkhanat mereka, Hulagu, harus kembali ke Karakorum, ibukota Kekaisaran Mongol untuk pelantikan adik Kubilai Khan yang merupakan adiknya menjadi Kaisar Agung baru. Dalam perjalanan ke Karakorum itu, Hulagu juga membawa sejumlah pasukan yang seharusnya bermanfaat untuk mengalahkan Mamluk di Ain Jalut.

Setelah kembali pada 1262 ke Kekaisaran Ilkhanat, Hulagu menaruh dendam terhadap Mamluk. Ketbuqa, jenderal terbaik Ilkhanat gugur setelah Pertempuran Ain Jalut dalam sebuah eksekusi yang dipimpin Sultan Sayf ad-Din Qutuz.

Kekaisaran Ilkhanat kemudian melihat Prancis sebagai sekutu karena sama-sama menjadikan Mamluk sebagai musuh. Kemungkinan aliansi pun dipertimbangkan oleh Ilkhan Mongol di Persia.

Persekutuan yang tidak menang perang

Pada 1240-an, Paus sudah menjangkau Mongol. Komunikasi antara dunia Kekristenan Eropa dan Mongol sempat pasang-surut beberapa kali karena Paus menghendaki para Khan untuk pindah agama.

Kekaisaran Ilkhanat yang menguasai banyak negeri di Persia, menguasai kerajaan-kerjaan Kristen seperti Armenia dan Georgia. Melihat keunggulannya, Ilkhanat tidak memandang aliansi yang hendak dijalin sebagai persahabatan. Mereka memandang kerajaan-kerajaan Kekristenan Eropa layaknya klien.

Ilkhanat begitu terbuka untuk keragaman agama. Banyak para bangsawan dari negeri-negeri Kekristenan yang jatuh segera membawa kabar ke Barat, dan menyatakan bahwa Mongol sangat toleran dengan agama Kristen. Bahkan, Mongol terbuka untuk menjadi sekutu bagi bangsa Eropa.

Bahkan, hubungan Prancis di bawah Louis IX dan Mongol sudah ada pada Perang Salib Ketujuh. Keduanya bertemu, membagi kesempatan agar Prancis menyerang Mamluk dan Mongol ke Bagdad.

Arghun Khan/Public Domain/Wikimedia Commons

Surat dari Arghun Khan untuk Philip IV dari Prancis yang dibawa oleh Rabban Bar Sauma. Surat ini merupakan ajakan aliansi Prancis-Keilkhanan Mongol di Persia untuk kampanye militer di Tanah Suci melawan Dinasti Mamluk.

Sayangnya, aliansi ini gagal memenangkan perang. Terbukti bagaimana Sultan Qutuz dapat bertahan dalam Perang Salib VII dan mengalahkan Ilkhanat di Ain Jalut.

Raja Louis IX atau lebih dikenal sebagai Santo Louis, mencoba lagi ke Tanah Suci pada Perang Salib VIII (1270). Abaqa Khan yang merupakan Ilkhan kedua, berniat menyokong Prancis untuk mendarat di Palestina.

Anehnya, Louis IX justru malah mendarat di Tunisia dengan memperluas peta peperangan. Hal ini membuat Kekaisaran Ilkhan berada di tempat yang sangat jauh dari posisi Prancis. Ilkhan Mongol pun tidak bisa membantu. Louis IX pun pun meninggal dunia karena penyakit sehingga Perang Salib VIII hanya berakhir dengan Perjanjian Tunis dengan Kerajaan Hafsiyun di Tunisia.

Untuk sekali lagi, Ilkhanat Mongol megajak persekutuan dengan Kekristenan Eropa pada 1280an. Persekutuan ini didasari karena Mamluk semakin menjadi ancaman. Kekaisaran Ilkhanat Mongol bahkan kembali gagal dalam Pertempuran Homs tahun 1281.

Ilkhan yang baru, Arghun Khan mengirimkan surat persekutuan ke Paus melalui penjelajah dan pendeta Kristen asal Tiongkok, Bar Sauma. Tawaran aliansi juga diberikan kepada Raja Prancis Philip IV.

Aliansi ini tidak begitu kuat karena Prancis tengah sibuk bertikai dengan Inggris. Philip IV pun tidak begitu berkontribusi nyata walau menaruh niat ke Tanah Suci. Kekuatan Kekristenan Eropa pun tidak mewujudkannya karena sedang ada pergantian Paus. Paus bahkan menghendaki Ilkhan untuk berpindah agama.

Meski tidak ada lagi persekutuan yang nyata, Ilkhanat dan Prancis masih menjalin kontak hingga 1330-an. Wabah menyebabkan kedua kekuatan terputus, terutama sejak Kerajaan Tentara Salib di Yerusalem direbut pada 1291 oleh Mamluk. Hubungan dunia Timur dan Barat semasa Abad Pertengahan hanya tinggal cerita.

Kura-Kura Leher Ular Rote Terancam Punah, Masyarakat Jadi Kunci Konservasi

Perang Salib Kedua (1145–1149) adalah perang salib kedua yang dilancarkan dari Eropa. Perang ini meletus akibat jatuhnya County Edessa pada tahun sebelumnya. Edessa adalah negara tentara salib yang pertama kali didirikan selama Perang Salib Pertama (1095–1099), dan juga negara yang pertama kali jatuh. Perang Salib Kedua diumumkan oleh Paus Eugenius III, dan merupakan Perang Salib pertama yang dipimpin oleh raja-raja Eropa, seperti Louis VII dari Prancis dan Conrad III dari Jerman, dengan bantuan dari bangsawan-bangsawan Eropa penting lainnya. Pasukan-pasukan kedua raja tersebut bergerak menyeberangi Eropa secara terpisah dan sedikit terhalang oleh kaisar Romawi Timur, Manuel I Comnenus. Setelah melewati Bizantium dan memasuki Anatolia, pasukan-pasukan kedua raja tersebut dikalahkan oleh tentara Seljuk. Louis, Conrad, dan sisa dari pasukannya berhasil mencapai Yerusalem dan melancarkan serangan yang "keliru" ke Damaskus pada tahun 1148. Perang Salib di Timur mencapai kemenangan. Kegagalan ini memicu jatuhnya kota Yerusalem dan Perang Salib Ketiga pada akhir abad ke-12.

Tentara salib yang mampu menggapai kemenangan adalah gabungan tentara salib Flandria, Frisia, Normandia, Inggris, Skotlandia, dan Jerman. Mereka berlayar menuju Tanah Suci. Di tengah perjalanan, tentara tersebut berhenti dan membantu bangsa Portugis merebut Lisboa tahun 1147. Sementara itu, Perang Salib Utara dikobarkan sebagai upaya untuk mengubah orang-orang yang menganut paganisme menjadi beriman Kristen, dan mereka harus berjuang selama berabad-abad.

Setelah meletusnya Perang Salib Pertama dan Perang Salib 1101, ada tiga negara tentara salib yang didirikan di timur, yaitu Kerajaan Yerusalem, Kepangeranan Antiokhia, dan County Edessa. County Tripoli didirikan pada tahun 1109. Edessa adalah negara yang secara geografis terletak paling utara dari keempat negara ini, dan juga merupakan negara yang paling lemah serta hanya memiliki sedikit penduduk. Maka dari itu, daerah ini sering diserang oleh negara-negara Muslim seperti Ortoqid, Danishmend, dan Seljuk. Baldwin II dan Joscelin dari Courtenay ditangkap akibat kekalahan mereka dalam Pertempuran Harran tahun 1104. Baldwin dan Joscelin ditangkap kedua kalinya pada tahun 1122, dan meskipun Edessa kembali pulih setelah Pertempuran Azaz pada tahun 1125, Joscelin tewas dalam pertempuran pada tahun 1131. Penerusnya, Joscelin II, terpaksa bersekutu dengan kekaisaran Romawi Timur, namun, pada tahun 1143, Kaisar Romawi Timur, John II Comnenus dan Raja Yerusalem Fulk dari Anjou, meninggal dunia. Joscelin juga bertengkar dengan Count Tripoli dan Pangeran Antiokhia, sehingga Edessa tidak memiliki sekutu yang kuat.[butuh rujukan]

Sementara itu, Zengi, seorang Atabeg dari Mosul, merebut Aleppo pada tahun 1128. Aleppo merupakan kunci kekuatan di Suriah. Baik Zengi maupun raja Baldwin II mengalihkan perhatian mereka ke arah Damaskus. Sayangnya, Baldwin dapat ditaklukan di luar kota tersebut pada tahun 1129. Damaskus yang dikuasai oleh Dinasti Burid, selanjutnya bersekutu dengan raja Fulk ketika Zengi mengepung kota Damaskus pada tahun 1139 dan tahun 1140.[3]

Pada akhir tahun 1144, Joscelin II bersekutu dengan Ortoqid dan menyerang Edessa dengan hampir seluruh pasukannya untuk membantu Ortoqid melawan Aleppo. Zengi, yang hendak mengambil kesempatan atas kematian Fulk tahun 1143, dengan cepat bergerak ke utara untuk mengepung Edessa, yang akhirnya jatuh ke tangannya setelah sebulan pada tanggal 24 Desember 1144. Manasses dari Hierges, Philip dari Milly dan lainnya dikirim dari Yerusalem untuk membantu, tetapi mereka sudah terlambat. Joscelin II terus menguasai sisa wilayah Edessa dari Turbessel, tetapi sedikit demi sedikit sisa daerah tersebut direbut atau dijual kepada Bizantium. Zengi sendiri dipuji sebagai "pelindung kepercayaan" dan al-Malik al-Mansur, "raja yang berjaya". Ia tidak menyerang sisa teritori Edessa, atau kerajaan Antiokhia. Peristiwa di Mosul memaksanya untuk pulang, dan ia sekali lagi mengalihkan perhatiannya pada Damaskus, namun ia dibunuh oleh seorang budak pada tahun 1146 dan digantikan oleh anaknya, Nuruddin.[4] Joscelin berusaha untuk merebut kembali Edessa dengan terbunuhnya Zengi, tetapi Nuruddin dapat mengalahkannya pada November 1146.

erita jatuhnya Edessa dikabarkan oleh para peziarah pada awal tahun 1145, lalu kemudian oleh duta besar dari Antiokhia, Yerusalem dan Armenia. Uskup Hugh dari Jabala melaporkan berita ini kepada Paus Eugenius III, yang mengeluarkan bula kepausan quantum praedecessores pada tanggal 1 Desember 1145 yang memerintahkan dilaksanakannya Perang Salib Kedua. Ia menyerukan raja-raja Kristen, terutama Raja Prancis untuk memobilisasi pasukan. Hugh juga memberitahu Paus bahwa seorang raja Kristen timur diharapkan akan memberi pertolongan kepada negara-negara tentara salib.

Perang salib yang baru diharapkan akan lebih teratur daripada Perang Salib Pertama. Apalagi, tentara salib akan dipimpin oleh raja-raja terkuat dari Eropa. Sayangnya, paus hanya mendapat sedikit tanggapan. Louis VII dari Prancis telah memikirkan ekspedisi baru tanpa campur tangan Paus. Ia telah mengumumkan hal itu pada istanannya di Bourges tahun 1145. Saat ini masih diperdebatkan, apakah Louis merencanakan perang salibnya sendiri, atau ia hendak memenuhi janjinya kepada saudaranya, Phillip, bahwa ia akan pergi ke Tanah Suci. Mungkin Louis menghendaki pilihan bebasnya setelah mendengar tentang quantum praedecessores. Sayangnya, Kepala Biara Suger dan bangsawan lainnya tidak senang dengan rencana Louis, karena ia akan pergi dari kerajaan selama beberapa tahun. Louis berkonsultasi dengan Bernardus dari Clairvaux, yang menyuruhnya menemui Eugenius. Kini Louis pasti telah mendengar tentang bula kepausan, dan Eugenius dengan penuh semangat mendukung perang salib Louis. Bula kepausan dikeluarkan kembali pada tanggal 1 Maret 1146, dan Paus Eugenius memberikan kekuasaan kepada Bernardus untuk berkhotbah di Prancis.[6]

Perang Salib di Timur

Joscelin mencoba merebut kembali Edessa setelah pembunuhan Zengi, tetapi Nuruddin menaklukannya pada November 1146. Pada 16 Februari 1147, tentara salib Prancis bertemu di Étampes untuk mendiskusikan rute mereka. Jerman memilih untuk melewati Hungaria karena Roger II, Raja Sisilia, adalah musuh Conrad dan rute laut secara politis tidak praktis. Banyak bangsawan Prancis tidak mempercayai jalur yang akan membawa mereka melalui Kekaisaran Romawi Timur tersebut, yang memiliki sejarah buruk pada masa Perang Salib Pertama. Meskipun demikian, akhirnya mereka memutuskan untuk mengikuti Conrad, dan direncanakan berangkat pada 15 Juni. Roger II merasa tersinggung dan menolak berpartisipasi lebih lanjut. Di Prancis, Kepala Biara Suger dan William II dari Nevers terpilih sebagai wali raja sementara raja pergi mengikuti perang salib. Di Jerman, pengkhotbahan lebih lanjut dikumandangkan oleh Adam dari Ebrach dan Otto dari Freising. Pada 13 Maret di Frankfurt, putra Conrad, Frederick, terpilih sebagai raja dibawah perwakilan Henry, Uskup kepala Mainz. Jerman berencana pergi ke Tanah Suci pada hari Paskah, tetapi mereka tidak berangkat sampai bulan Mei.[20]

Tentara salib Jerman, tediri dari Franconia, Bayern, dan Swabia, meninggalkan tanah air mereka pada Mei 1147. Ottokar III dari Styria bergabung dengan Conrad di Wina, dan musuh Conrad, Geza II dari Hungaria, akhirnya membiarkan mereka lewat. Ketika 20.000 pasukan Jerman tiba di wilayah Bizantium, Manuel takut mereka akan menyerang Bizantium, dan pasukan Romawi Timur ditugaskan untuk memastikan agar tidak terjadi masalah apapun. Pertempuran-pertempuran kecil dengan beberapa orang Jerman yang tidak mau menurut meletus di dekat Philippopolis dan di Adrianopel, tempat jendral Bizantium, Prosouch, bertempur dengan keponakan Conrad, yang nantinya akan menjadi kaisar, Frederick. Lebih buruk lagi, beberapa pasukan Jerman tewas karena banjir pada awal bulan September. Pada 10 September, mereka tiba di Konstantinopel. Hubungan dengan Manuel kurang baik dan orang Jerman diminta untuk menyeberang ke Asia Kecil secepat mungkin. Manuel ingin Conrad meninggalkan beberapa pasukannya di belakang untuk membantunya bertahan melawan serangan Roger II, yang telah mengambil kesempatan untuk untuk merebut kota-kota di Yunani, tetapi Conrad menolak, walaupun ia adalah musuh dari Roger.[21]

Di Asia Kecil, Conrad memilih untuk tidak menunggu pasukan Prancis, dan maju menyerang Iconium, ibu kota Kesultanan Rum. Conrad memisahkan pasukannya menjadi 2 divisi. Conrad memimpin salah satu 1 divisi, yang hampir dihancurkan oleh Seljuk pada 25 Oktober 1147 dalam Pertempuran Dorylaeum Kedua.[22]

Turki Seljuk menggunakan taktiknya. Mereka berpura-pura mundur, lalu menyerang kavaleri kecil Jerman yang terpisah dari pasukan utama karena mengejar mereka. Conrad mulai mundur pelan-pelan ke Konstantinopel, dan pasukannya diganggu setiap hari oleh Turki Seljuk, yang menyerang dan menaklukan penjaga depan. Bahkan Conrad terluka saat bertempur dengan mereka. Divisi yang lain, dipimpin oleh Otto dari Freising, maju ke selatan pantai Mediterania dan dapat ditaklukan pada awal tahun 1148.[23]

Tentara salib Prancis berangkat dari Metz pada bulan Juni 1147, dipimpin oleh Louis, Thierry dari Elsas, Renaut I dari Bar, Amadeus III dari Savoy dan saudaranya William V dari Montferrat, William VII dari Auvergne, dan lain-lain, bersama dengan pasukan Lorraine, Bretagne, Burgundi, dan Aquitaine. Pasukan dari Provence, dipimpin oleh Alphonse dari Tolosa, memilih untuk menunggu sampai bulan Agustus. Di Worms, Louis bergabung dengan tentara salib dari Normandia dan Inggris. Mereka mengikuti rute Conrad dengan damai, meskipun Louis datang dalam konflik dengan Geza dari Hungaria sat Geza menemukan Louis telah mempersilakan orang Hungaria untuk bergabung dengan pasukannya.[24]

Sejak negosiasi awal di antara Louis dan Manuel, Manuel telah menghentikan kampanye militer melawan Kesultanan Rüm dan menandatangani gencatan senjata dengan Mas'ud. Hal ini dilakukan sehingga Manuel dapat memusatkan perhatiannya pada pertahanan kekaisarannya dari tentara salib, yang memiliki reputasi buruk akibat pencurian dan pengkhianatan sejak Perang Salib Pertama. Mereka dituduh melakukan hal yang jahat di Konstantinopel. Hubungan Manuel dengan pasukan Prancis lebih baik daripada dengan orang Jerman. Beberapa orang Prancis marah karena gencatan senjata Manuel dengan Seljuk dan melakukan penyerangan di Konstantinopel, tetapi mereka dapat dikendalikan oleh Louis.[25]

Ketika pasukan dari Savoy, Auvergne, dan Montferrat bergabung dengan Louis di Konstantinopel dengan melewati Italia dan menyeberang dari Brindisi menuju Durres, seluruh pasukan mereka menyeberangi Bosporus menuju Asia Kecil melalui kapal. Mereka disemangati oleh rumor bahwa Jerman telah merebut Iconium, tetapi Manuel menolak memberi Louis bantuan tentara Bizantium. Bizantium baru saja diserang oleh Roger II dari Sisilia, dan seluruh pasukan Manuel dibutuhkan di Balkan. Baik Jerman dan Prancis memasuki Asia tanpa bantuan Bizantium, tidak seperti pada Perang Salib Pertama. Dalam tradisi yang dibuat oleh kakek dari Manuel, Alexios I, Manuel menyuruh orang Prancis untuk menyerahkan wilayah manapun yang direbutnya kepada Romawi Timur.[26]

Pasukan Prancis bertemu sisa pasukan Conrad di Nicea, dan Conrad bergabung dengan pasukan Louis. Mereka mengikuti rute Otto dari Freising, dan tiba di Efesus pada bulan Desember. Di situ, mereka menyadari bahwa Turki Seljuk mempersiapkan serangan terhadap mereka. Sementara itu, Manuel mengirim utusan yang menyatakan keluhan mengenai penjarahan dan perampasan yang dilakukan oleh Louis, dan tidak ada jaminan bahwa Bizantium akan membantu mereka melawan Turki Seljuk. Setelah itu, Conrad jatuh sakit dan kembali ke Konstantinopel. Louis tidak mendengarkan peringatan mengenai serangan Seljuk dan lalu bergerak keluar Efesus. Seljuk menunggu menyerang, tetapi dalam pertempuran kecil di luar Efesus, pasukan Prancis berhasil memenangkan pertempuran.[27]

Mereka mencapai Laodicea pada Januari 1148, hampir pada waktu yang sama ketika Otto dari Freising dihancurkan di tempat yang sama.[28] Perjalanan pun tetap dilanjutkan. Barisan depan dibawah pimpinan Amadeus dari Savoy terpisah dari pasukan di Gunung Cadmus, sementara pasukan Louis mengalami kekalahan. Pasukan Turki tidak mengganggu dengan menyerang lebih lanjut dan pasukan Prancis bergerak menuju Adalia. Adalia telah dihancurkan oleh Seljuk, dan juga dibakar agar pasukan Prancis tidak mendapat makanan. Louis tidak lagi ingin melalui jalur darat, dan memilih untuk mengumpulkan armada di Adalia dan berlayar ke Antiokhia.[22] Setelah terlambat selama 1 bulan karena badai, hampir semua kapal yang dijanjikan tidak tiba. Louis dan koleganya mengambil kapal untuk diri mereka sendiri, sementara sisa pasukan harus melanjutkan perjalanan yang jauh ke Antiokhia. Pasukan itu hancur, baik karena serangan Turki maupun karena sakit.[29]

Louis tiba di Antiokhia pada tanggal 19 Maret, setelah terlambat akibat badai. Amadeus dari Savoy meninggal di Siprus selama perjalanan. Louis disambut oleh paman Aliénor, Raymond. Raymond mengharapkan ia membantunya bertahan melawan Seljuk dan menemaninya dalam ekspedisi melawan Aleppo, tetapi Louis menolak. Ia lebih memilih untuk menyelesaikan peziarahannya di Yerusalem daripada memusatkan perhatian pada aspek militer perang salib.[30] Raymond ingin agar Aliénor, istri Louis, tetap berada di belakang dan menceraikan Louis jika ia menolak membantunya. Louis segera meninggalkan Antiokhia menuju County Tripoli, meninggalkan Aliénor. Sementara itu, Otto dari Freising dan sisa pasukannya tiba di Jerusalam pada awal bulan April, setelah itu Conrad segera sampai.[31] Fulk, Patriark Yerusalem, dikirim untuk mengundang Louis bergabung dengan mereka. Armada yang berhenti di Lisboa tiba, dan juga Provencal dibawah komando Aphonse dari Tolosa. Alphonse sendiri tewas dalam perjalanan menuju Yerusalem karena diracuni oleh Raymond II dari Tripoli, keponakannya yang takut akan aspirasi politiknya di Tripoli. Target utama tentara salib adalah Edessa, tetapi target yang lebih diutamakan oleh Raja Baldwin III dan Ordo Bait Allah adalah Damaskus.[30]

Bangsawan Yerusalem menyambut datangnya pasukan dari Eropa, dan diumumkan bahwa konsili harus dihimpunkan untuk menentukan target terbaik tentara salib. Pertemuan berlangsung pada tanggal 24 Juni 1148. Dewan Haute Cour bertemu dengan tentara salib dari Eropa di Palmarea, dekat kota Akko (kota utama di Kerajaan Yerusalem). Baik Louis maupun Conrad dibujuk untuk menyerang Damaskus.[32]

Beberapa bangsawan (baron) Yerusalem menyatakan bahwa menyerang Damaskus adalah tindakan yang tidak bijaksana, karena Dinasti Burid di Damaskus, meskipun Muslim, adalah sekutu mereka melawan dinasti Zengid. Conrad, Louis, dan Baldwin bersikeras bahwa Damaskus adalah kota suci untuk Kekristenan. Seperti Yerusalem dan Antiokhia, Damaskus akan menjadi hadiah yang patut diperhitungkan di mata Kristen Eropa. Pada bulan Juli, pasukan mereka dikumpulkan di Tiberias dan bergerak menuju Damaskus. Mereka berjumlah 50.000 tentara.[33]

Tentara salib memilih untuk menyerang Damaskus dari barat, tempat berdirinya kebun buah yang akan memberi mereka makanan.[32] Mereka tiba pada tanggal 23 Juli. Pasukan Muslim sudah siap untuk serangan tersebut dan langsung menyerang pasukan yang bergerak melalui perkebunan di luar Damaskus. Damaskus meminta bantuan dari Saifuddin Ghazi I dari Aleppo dan Nuruddin Zengi dari Mosul. Damaskus lalu menyerang perkemahan tentara salib. Tentara salib dapat dipukul mundur dari tembok ke perkebunan. Di sana mereka rentan terhadap serangan gerilya.[30]

Menurut William dari Tirus, pada 27 Juli, tentara salib memilih untuk bergerak ke bagian timur, yang lebih sedikit pertahanannya, tetapi lebih kurang lagi persediaan makanan dan airnya.[32] Nuruddin dan Saifuddin telah tiba. Dengan hadirnya Nuruddin di lapangan, sangatlah tidak mungkin bagi tentara salib untuk kembali ke posisi mereka yang lebih baik.[30] Pemimpin tentara salib lokal menolak untuk meneruskan pengepungan, dan ketiga raja tidak memiliki pilihan selain meninggalkan kota.[32] Conrad, lalu sisa pasukan, memilih untuk mundur kembali ke Yerusalem pada 28 Juli. Ketika mundur, mereka diikuti oleh pemanah Turki yang terus menerus menyerang mereka.[34]

Setiap pihak Kristen merasa saling dikhianati satu sama lain.[32] Rencana baru dibuat untuk menyerang Ascalon, dan Conrad membawa pasukannya kesana, tetapi tidak ada bantuan tiba, karena kurangnya kepercayaan akibat kegagalan pengepungan Damaskus. Ketidakpercayaan ini terus berkepanjangan, sehingga menghancurkan kerajaan Kristen di Tanah Suci. Setelah ekspedisi Ascalon dihentikan, Conrad kembali ke Konstantinopel untuk memperkuat aliansi dengan Manuel. Louis tetap berada di Yerusalem sampai tahun 1149.

Bernardus dari Clairvaux juga dipermalukan oleh kekalahan ini. Bernardus meminta maaf kepada Paus. Dalam bagian kedua bukunya, Book of Considerations, Bernardus menjelaskan bagaimana dosa-dosa yang dilakukan para tentara salib adalah penyebab kemalangan dan kegagalan mereka. Ketika usahanya untuk menyerukan perang salib baru gagal, ia mencoba memisahkan dirinya dari kegagalan Perang Salib Kedua.[35] Bernardus meninggal dunia pada tahun 1153.

Perang Salib Wend membuahkan hasil yang manis dan pahit. Walaupun Sachsen berhasil menyatakan Wagria dan Polabia sebagai jajahan mereka, kelompok pagan tetap menguasai wilayah Obodrit di sebelah timur Lübeck. Sachsen menerima upeti dari Niklot, memungkinkan kolonisasi Keuskupan Havelberg, dan pembebasan beberapa tahanan Denmark, namun pemimpin-pemimpin Kristen saling mencurigai dan menuduh satu sama lain atas tuduhan mensabotase kampanye militer. Di Iberia, kampanye militer di Spanyol, dan juga pengepungan Lisboa, merupakan satu-satunya kemenangan Kristen dalam Perang Salib Kedua. Kampanye tersebut dianggap sebagai pertempuran penting dalam Reconquista, yang akan selesai pada tahun 1492.[19]

Serangan terhadap Damaskus membawa malapetaka kepada Yerusalem: Damaskus tidak lagi percaya kepada negara-negara tentara salib, dan kota itu diberikan kepada Nuruddin tahun 1154. Baldwin III menguasai Ascalon pada tahun 1153, yang menyeret Mesir kedalam konflik ini. Yerusalem mampu memasuki Mesir dan merebut Kairo pada tahun 1160.[36] Akan tetapi, bantuan dari Eropa jarang datang setelah bencana yang diakibatkan oleh Perang Salib Kedua. Raja Amalric I dari Yerusalem bersekutu dengan Romawi Timur dan melancarkan invasi gabungan ke Mesir tahun 1169, tetapi serangan ini gagal. Pada tahun 1171, Salahuddin Ayyubi, keponakan dari salah satu jenderal Nuruddin, menjadi Sultan Mesir. Ia mempersatukan Mesir dan Suriah, lalu mengepung kerajaan tentara salib. Sementara itu, aliansi dengan Bizantium berakhir setelah kematian Kaisar Manuel I pada tahun 1180, dan pada tahun 1187, Yerusalem diserang dan direbut oleh Salahuddin. Pasukannya lalu menyebar ke utara dan merebut semua ibu kota negara-negara tentara salib, memicu meletusnya Perang Salib Ketiga.[37]

Perang Salib Pertama (1096–1099) adalah perang pertama dari serangkaian perang agama, atau Perang Salib, yang digagas, didukung, dan diarahkan oleh Gereja Latin pada Abad Pertengahan. Tujuannya adalah merebut kembali Tanah Suci dari kekuasaan Islam. Meskipun Yerusalem telah dikuasai oleh Muslim selama ratusan tahun, berkuasanya Seljuk di wilayah tersebut pada abad ke-11 memunculkan kekhawatiran mengenai keselamatan penduduk Kristen di Yerusalem, menghalangi peziarahan dari Dunia Barat, dan mengancam keberlangsungan Kekaisaran Bizantium. Gagasan awal Perang Salib Pertama bermula pada tahun 1095 ketika Kaisar Bizantium Aleksius I Komnenus meminta dukungan militer dari Konsili Piacenza untuk berperang melawan Turki Seljuk. Sokongan juga diberikan oleh Konsili Clermont setelah Paus Urbanus II menyatakan dukungannya terhadap Kekaisaran Bizantium dan mengajak umat Kristen yang beriman untuk melakukan ziarah bersenjata ke Yerusalem.

Seruan Sri Paus disambut dengan bergelora oleh segenap rakyat di Eropa Barat. Ribuan umat Kristen, yang kebanyakannya adalah rakyat jelata, dipimpin oleh imam Prancis Peter sang Pertapa, menjadi kalangan pertama yang menanggapi seruan Paus. Rombongan tersebut kemudian berarak melintasi Jerman dan melancarkan berbagai tindakan anti-Yahudi, seperti pembantaian Rhineland. Konflik-konflik yang terjadi pada masa itu dinamai dengan Perang Salib Rakyat. Saat hendak menyeberangi wilayah Bizantium di Anatolia, pasukan tersebut disergap dan dihabisi oleh kafilah Turki yang dipimpin oleh Sultan Seljuk Kilij Arslan I dalam Pertempuran Civetot pada bulan Oktober 1096.

Kalangan bangsawan Eropa dan pasukannya berangkat pada akhir musim panas 1096 dan tiba di Konstantinopel antara bulan November dan April 1097. Rombongan tersebut terdiri dari bala tentara feodal yang dipimpin oleh para pangeran termasyhur di Eropa Barat: pasukan Prancis selatan dipimpin oleh Raymond IV dari Toulouse dan Adhemar dari Le Puy; pasukan dari Lorraine Hulu dan Hilir dipimpin oleh Godfrey dari Bouillon dan adiknya Baldwin dari Boulogne; pasukan Italia-Norman dipimpin oleh Bohemond dari Taranto dan keponakannya Tancred; serta sejumlah pasukan yang terdiri dari bala tentara Prancis utara dan Flandria di bawah pimpinan Robert Curthose dari Normandia, Stephen dari Blois, Hugh dari Vermandois, dan Robert II dari Flandria. Secara keseluruhan, jumlah serdadu tentara salib diperkirakan sebanyak 100.000 orang.

Tentara salib tiba secara bertahap di Anatolia. Berkat ketiadaan Kilij Arslan, tentara salib berhasil memenangkan pertempuran awal setelah diserbunya Anatolia oleh bangsa Franka dan serangan laut oleh Bizantium semasa Pengepungan Nikea pada bulan Juni 1097. Pada bulan Juli, bala tentara salib memenangkan Pertempuran Dorilaeum melawan pemanah berkuda Turki. Seusai menempuh perjalanan sulit melintasi Anatolia, tentara salib memulai Pengepungan Antiokhia, dan berhasil merebut kota tersebut pada bulan Juni 1098. Yerusalem, yang ketika itu berada di bawah kekuasaan Fatimiyah, dikepung dan direbut pada bulan Juli 1099 setelah para penduduknya dibantai dengan keji. Serangan balasan Fatimiyah berhasil dipukul mundur pada akhir 1099 dalam Pertempuran Ascalon, yang mengakhiri Perang Salib Pertama. Seusai perang, sebagian besar tentara salib kembali ke kampung halamannya.

Empat negara tentara salib didirikan di Tanah Suci: Kerajaan Yerusalem, Kepangeranan Edessa, Kepangeranan Antiokhia, dan Kepangeranan Tripoli. Keberadaan tentara salib tetap dipertahankan di wilayah tersebut sampai runtuhnya benteng besar terakhir tentara salib dalam Pengepungan Akko pada tahun 1291. Setelah tentara salib kehilangan seluruh wilayahnya di Levant, tidak ada lagi upaya nyata yang dilakukan untuk merebut kembali Tanah Suci.

Negeri-negeri Kristen dan Muslim telah bertikai sejak berdirinya Islam pada abad ke-7. Satu abad setelah kematian Nabi Muhammad pada tahun 632, tentara Muslim merebut Yerusalem dan Levant, Afrika Utara, serta Semenanjung Iberia, yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kristen. Pada abad ke-11, penguasa Kristen secara bertahap menghapuskan pengaruh Islam di Iberia melalui Reconquista, tetapi keterikatan mereka dengan Tanah Suci telah memburuk. Penguasa Muslim di Levant sering kali memberlakukan aturan keras terhadap penganut Kristen.

Perang Salib Pertama adalah upaya dunia Kristen untuk membendung perluasan pengaruh Islam ke Tanah Suci dan Bizantium, terutama oleh Fatimiyah dan Seljuk. Di Eropa Barat, Yerusalem dianggap sebagai tempat patut untuk menunaikan peziarahan penebusan dosa. Meskipun kekuasaan Seljuk di Yerusalem lemah (yang kelak menyerahkan kota tersebut kepada Fatimiyah), para peziarah yang kembali ke Eropa melaporkan adanya kesusahan dan penindasan yang dialami oleh umat Kristen. Dukungan militer yang diperlukan oleh Bizantium bertepatan dengan meningkatnya jumlah prajurit di Eropa Barat yang bersedia menerima perintah perang dari kepausan.

Pada abad ke-11, jumlah penduduk Eropa meningkat pesat akibat munculnya pembaruan di bidang teknologi dan pertanian yang memungkinkan berkembangnya perdagangan. Gereja Katolik telah menjadi lembaga yang sangat berpengaruh bagi peradaban Barat. Kehidupan masyarakat diatur melalui manorialisme dan feodalisme, struktur politik dengan para kesatria dan bangsawan berutang pengabdian militer kepada para penguasa sebagai imbalan atas hak untuk menyewakan tanah dan manor.[5]

Dalam rentang tahun 1050 sampai 1080, gerakan Reformasi Gregorian mengembangkan kebijakan yang semakin tegas demi memperluas kekuatan dan pengaruh Katolik Roma. Hal tersebut memicu pertikaian dengan umat Kekristenan Timur yang tidak mengakui doktrin supremasi kepausan. Gereja Timur menganggap paus hanyalah satu dari lima patriark Gereja, bersama dengan patriark Aleksandria, Antiokhia, Konstantinopel, dan Yerusalem. Lantaran adanya perbedaan kebiasaan, kredo, dan praktik antar umat Kristen, Paus Leo IX mengirim utusan ke Patriark Mikael I Kerularius dari Konstantinopel pada tahun 1054, yang menyebabkan terjadinya pemisahan gereja dan Skisma Timur–Barat.[6]

Umat Kristen awal terbiasa menggunakan kekerasan untuk kepentingan keumatan. Teologi Kristen mengenai kewajiban berperang berkembang sejak kewarganegaraan Romawi dan Kekristenan dipersatukan. Warga negara diwajibkan berperang melawan musuh-musuh kekaisaran. Berawal dari pemikiran teolog abad ke-4, Agustinus dari Hippo, doktrin perang suci mulai berkembang. Agustinus berpendapat bahwa perang agresi itu dosa, tetapi perang bisa dibenarkan jika dinyatakan oleh penguasa yang sah seperti raja atau uskup, untuk mempertahankan diri atau merebut kembali wilayah, dan tidak melakukan kekerasan berkelebihan. Terpecahnya Kekaisaran Karoling di Eropa Barat menyebabkan munculnya golongan prajurit yang saling bertempur sesama mereka sendiri. Tindakan kekerasan umumnya digunakan untuk penyelesaian sengketa, dan kepausan berupaya mengentaskan hal tersebut.[7]

Paus Aleksander II mengembangkan sistem penerimaan prajurit melalui proses penyumpahan untuk membangun pasukan militer, yang kemudian diperluas oleh Gregorius VII ke seluruh Eropa. Hal tersebut dimanfaatkan oleh Gereja dalam menghadapi perseteruan antara Kristen dengan Muslim di Semenanjung Iberia dan melawan penaklukan Sisilia oleh Norman. Gregorius VII melangkah lebih jauh pada tahun 1074, yang berencana memanfaatkan kekuatan militer untuk memperkuat prinsip kedaulatan kepausan dalam perang suci mendukung Bizantium melawan Seljuk, tetapi tidak mendapatkan banyak dukungan. Teolog Anselmus dari Lucca mengambil langkah tegas sehubungan dengan ideologi tentara salib. Ia memaklumatkan bahwa berperang demi tujuan yang benar dapat mengampuni dosa.[8]

Di Semenanjung Iberia, tidak ada pemerintahan Kristen yang berpengaruh. Kerajaan Kristen León, Navarra, dan Catalonia tidak memiliki kesamaan identitas dan keterikatan sejarah yang berlandaskan pada suku atau etnis, sehingga mereka berkali-kali bersatu dan berpisah di sepanjang abad ke-11 dan ke-12. Meskipun kecil, kerajaan-kerajaan tersebut mengembangkan teknik militer atas dasar kebangsawanan, dan pada tahun 1031, runtuhnya Kekhalifahan Córdoba di Spanyol selatan membuka peluang untuk menyatukan wilayah-wilayah tersebut, yang kemudian dinamai Reconquista. Pada tahun 1063, William VIII dari Aquitaine memimpin pasukan yang terdiri dari gabungan kesatria Prancis, Aragon, dan Catalan dalam Pengepungan Barbastro untuk merebut kembali kota-kota yang telah dikuasai Muslim sejak tahun 711. Tindakan tersebut mendapat dukungan penuh dari Paus Aleksander II. Setelah gencatan senjata dinyatakan di Catalonia, para prajurit perang diberi penghapusan dosa. Perang tersebut digolongkan sebagai perang suci, tetapi berbeda dengan Perang Salib Pertama karena tidak ada peziarahan, tidak ada penyumpahan, dan tidak ada pengesahan resmi oleh gereja. Sesaat menjelang Perang Salib Pertama, Paus Urbanus II mengajak umat Kristiani Iberia untuk merebut Tarragona, memakai banyak simbolisme dan retorika yang belakangan juga digunakan untuk memaklumatkan perang salib kepada rakyat Eropa.

Bangsa Italia-Norman berhasil merebut sebagian Italia Selatan dan Sisilia dari Bizantium dan Arab Afrika Utara beberapa dekade menjelang Perang Salib Pertama. Tindakan tersebut dikecam oleh kepausan. Paus Leo IX kemudian menyerukan perlawanan terhadap mereka melalui Pertempuran Civitate, yang berhasil dimenangkan oleh Norman. Kendatipun demikian, ketika menyerbu Sisilia Muslim pada tahun 1059, Norman melancarkannya di bawah panji kepausan Invexillum sancti Petrior, atau panji Santo Petrus. Robert Guiscard merebut kota Bizantium Bari pada tahun 1071 dan melancarkan perlawanan di sepanjang pesisir timur Adriatik di dekat Dyrrachium pada tahun 1081 dan 1085.[13]

Sejak awal berdirinya, Kekaisaran Bizantium merupakan pusat sejarah perbendaharaan, budaya, dan kekuatan militer di Eropa.[14] Di bawah pemerintahan Basilus II, perluasan wilayah kekaisaran mencapai puncaknya pada tahun 1025. Perbatasan Kekaisaran membentang ke arah timur hingga Iran, Bulgaria, dan sebagian besar Italia selatan berada di bawah kendali Bizantium. Perompakan yang marak terjadi di Laut Tengah juga berhasil ditumpas. Hubungan Bizantium dengan Kesultanan Islam yang bersebelahan sama bermasalahnya seperti hubungannya dengan bangsa Slavia atau Kristen Barat. Bangsa Norman di Italia; Pecheneg, Serbia dan Kuman di utara; serta Turki Seljuk di timur, kesemuanya bertikai dengan Kekaisaran Bizantium, dan untuk menghadapi ancaman tersebut, para kaisar merekrut prajurit bayaran, bahkan terkadang direkrut dari para musuh mereka.

Di sisi lain, dunia Islam mengalami kemajuan pesat sejak didirikan pada abad ke-7, dan diperkirakan akan segera menghadapi perubahan besar.[16] Gelombang pertama migrasi bangsa Turki ke Timur Tengah turut memengaruhi sejarah Arab dan Turki sejak abad ke-9. Status quo di Asia Barat terancam oleh gelombang migrasi bangsa Turki berikutnya, terutama kedatangan Turki Seljuk pada abad ke-10. Seljuk adalah klan penguasa kecil yang berasal dari Transoksiana di Asia Tengah. Mereka masuk Islam dan bermigrasi ke Iran untuk mencari peruntungan. Dua dekade kemudian, Seljuk berhasil menaklukkan Iran, Irak dan Timur Dekat. Seljuk dan para prajuritnya adalah Muslim Sunni, yang memicu terjadinya perseteruan dengan Syiah Fatimiyah di Palestina dan Suriah.

Bangsa Seljuk adalah orang-orang nomaden, berbahasa Turki, dan terkadang shamanistik, berbeda dengan rakyat mereka yang menetap dan menuturkan bahasa Arab. Perbedaan tersebut turut melemahkan struktur kekuasaan ketika dipadukan dengan kebiasaan memerintah Seljuk atas suatu wilayah yang berlandaskan pada kecenderungan politik, bukannya pada letak geografi. Kaisar Romanos IV Diogenes berupaya memadamkan serangan sporadis Seljuk, tetapi kalah dalam Pertempuran Manzikert pada tahun 1071 dan ditawan oleh pasukan Muslim. Kekalahan tersebut menjadi pukulan besar bagi Bizantium dan pertanda berkembangnya Seljuk, yang menyebabkan munculnya seruan untuk melancarkan Perang Salib Pertama. Kota-kota penting Bizantium seperti Nikea dan Antiokhia jatuh ke tangan Muslim pada tahun 1081 dan 1086. Kota-kota tersebut sangat tersohor di Barat karena signifikansi historisnya dan kelak juga menjadi sasaran penaklukan kembali oleh tentara salib.[21]

Sejak tahun 1092, status quo di Timur Tengah kacau balau setelah kematian penguasa sah Kesultanan Seljuk, Nizham al-Mulk, yang kemudian disusul oleh kematian sultan Seljuk Malik Syah dan khalifah Fatimiyah Al-Mustansir Billah. Lantaran dilanda kebingungan dan perpecahan, dunia Islam mengabaikan dunia luar, sehingga mereka tidak siap ketika tentara salib menyerbu. Malik Syah digantikan sebagai penguasa Kesultanan Rûm di Anatolia oleh Kilij Arslan, dan di Suriah oleh saudaranya Tutush I, yang memulai perang saudara melawan Berkyaruq demi menjadi penguasa tunggal. Setelah Tutush terbunuh pada tahun 1095, putranya Ridwan dan Duqaq mewarisi Aleppo dan Damaskus, yang kemudian membagi-bagi Suriah menjadi sejumlah emirat. Sedangkan Kerbogha menjadi penguasa Mosul. Mesir dan sebagian Palestina dikuasai oleh Fatimiyah. Fatimiyah, di bawah pemerintahan khalifah Al-Musta'li dan Al-Afdhal Syahansyah, menyerahkan Yerusalem kepada Seljuk pada tahun 1073, tetapi berhasil merebut kembali kota tersebut pada tahun 1098 dari Artuqid, suku Turki kecil yang berkerabat dengan Seljuk, tepat sebelum kedatangan tentara salib.[22]

Menurut sejarawan Jonathan Riley-Smith dan Rodney Stark, penguasa Muslim di Tanah Suci kerap memberlakukan aturan keras "terhadap setiap orang yang mempertunjukkan iman Kristen secara terang-terangan":[23] [24][25][26]

Pada tahun 1026, Richard dari Saint-Vanne dirajam sampai mati karena ia ketahuan mengadakan misa. Pejabat Muslim juga mengabaikan perampokan dan pembantaian yang sering dilakukan terhadap peziarah Kristen, seperti kejadian pada tahun 1064 ketika Muslim menyergap empat uskup dan ribuan peziarah Jerman saat mereka memasuki Tanah Suci, membantai dua pertiga di antaranya.

Penindasan terhadap umat Kristen semakin parah setelah Turki Seljuk menyerbu Yerusalem. Desa-desa yang diduduki oleh Turki di sepanjang jalan menuju Yerusalem mulai memungut biaya masuk pada peziarah Kristen. Pada prinsipnya, Seljuk mengizinkan para peziarah untuk memasuki Yerusalem, tetapi mereka kerap memberlakukan tarif yang tinggi dan membiarkan para peziarah diserang oleh penduduk setempat. Banyak peziarah yang diculik dan dijual sebagai budak, sedangkan selebihnya disiksa. Selepas itu, hanya rombongan besar dan bersenjata yang berani berziarah, meskipun tetap saja banyak yang tewas atau berbalik pulang. Para peziarah yang berhasil selamat dari perjalanan berbahaya tersebut “kembali ke Barat dalam keadaan letih dan melarat, membawa serta pengalaman yang mengerikan untuk diceritakan.” Kabar mengenai serangan keji terhadap para peziarah serta penindasan terhadap umat Kristen Timur di Yerusalem menimbulkan kemarahan di Eropa.[27]

Kabar mengenai penindasan tersebut sampai ke telinga umat Kristen Eropa di Barat beberapa tahun setelah Pertempuran Manzikert. Seorang saksi mata dari Franka berkata: "Sejauh mata memandang, Muslim Turki menghancurkan kota-kota dan kastil-kastil beserta pemukiman. Gereja-gereja diratakan dengan tanah. Para rohaniwan dan rahib yang mereka tangkap, sebagian dibantai sedangkan sebagian lagi dijadikan budak, termasuk para imam dan yang lainnya, dan para biarawati—oh, alangkah malangnya!—dipaksa memuaskan nafsu mereka."[28] Hal demikianlah yang memicu kaisar Bizantium Aleksius I Komnenus untuk menulis surat kepada Robert II dari Flandria. Ia menulis:

Tempat-tempat suci dinodai dan dihancurkan dengan berbagai cara. Para bangsawan perempuan dan putri-putri mereka, yang ditelanjangi, diperkosa satu demi satu, seperti binatang. Beberapa [penyerang] tanpa rasa malu memamerkan para perawan di depan ibunya sendiri dan memaksanya menyanyikan lagu-lagu yang durjana dan cabul sampai keinginan mereka terpenuhi... laki-laki dari segala usia dan latar belakang, anak-anak, remaja, orang tua, bangsawan, petani, dan yang lebih buruk lagi, rohaniwan dan rahib, bahkan uskup, dinodai dengan dosa sodomi, dan kini dikabarkan bahwa seorang uskup telah terjerat dalam dosa yang sangat menjijikkan tersebut.[29]

Kaisar memperingatkan bahwa jika Konstantinopel jatuh ke tangan Turki, tidak hanya ribuan umat Kristen yang akan disiksa, diperkosa dan dibunuh, tetapi “relikui paling suci dari sang Juru Selamat,” yang dikumpulkan selama berabad-abad, akan lenyap. “Maka dari itu, dalam nama Tuhan... kami memohon kepada Saudara untuk membawa semua prajurit Kristus yang setia ke kota ini... dengan kedatangan Saudara, Saudara akan menemukan ganjarannya di surga, dan jika Saudara tidak datang, Tuhan akan menghukum Saudara.”[30]

Penggerak gerejawi utama yang melatarbelakangi Perang Salib Pertama adalah Konsili Piacenza dan Konsili Clermont yang diadakan pada tahun 1095 oleh Paus Urbanus II.[31] Konsili tersebut bertujuan untuk mengerahkan rakyat Eropa Barat menuju Tanah Suci.[32] Kaisar Bizantium Aleksius I Komnenus, yang khawatir atas makin merangseknya Seljuk ke wilayah Bizantium, mengirim utusan ke Konsili Piacenza pada bulan Maret 1095 untuk meminta bantuan dari Paus Urbanus dalam melawan serbuan Turki.[33]

Urbanus menanggapinya dengan bijak. Ia bertekad memulihkan Skisma Timur-Barat yang sudah berlangsung selama empat puluh tahun dan hendak menyatukan Gereja di bawah payung kepausan dengan membantu Gereja Timur pada masa-masa sulitnya. Aleksius dan Urbanus telah menjalin hubungan erat sejak tahun 1089, serta secara terbuka mendiskusikan mengenai peluang penyatuan gereja-gereja Kristen. Tanda-tanda kerja sama yang mungkin terjalin antara Roma dengan Konstantinopel sudah muncul bertahun-tahun menjelang Perang Salib.[34]

Pada bulan Juli 1095, Urbanus bepergian ke tanah kelahirannya di Prancis untuk merekrut tentara salib. Perjalanannya di Prancis diakhiri dengan menggelar Konsili Clermont yang berlangsung selama sepuluh hari. Pada tanggal 27 November, ia menyampaikan khotbah berapi-api kepada himpunan jemaat yang terdiri dari para bangsawan dan klerus Prancis.[35] Ada lima versi khotbah yang dicatat oleh orang-orang yang diduga menghadiri konsili (Baldric dari Dol, Guibert dari Nogent, Robert sang Rahib, dan Fulcher dari Chartres) atau oleh orang-orang yang kelak ikut serta dalam Perang Salib (Fulcher dan penulis anonim Gesta Francorum), serta versi lainnya yang ditulis oleh sejarawan di kemudian hari (seperti William dari Malmesbury dan William dari Tirus).[36] Seluruh catatan tersebut ditulis setelah Yerusalem direbut, sehingga sulit untuk mengetahui apa yang sebenarnya dititahkan oleh Paus Urbanus, atau mana yang dikarang setelah keberhasilan Perang Salib. Catatan kontemporer hanyalah sejumlah surat yang ditulis oleh Urbanus pada tahun 1095.[37] Diperkirakan juga bahwa Urbanus mungkin menyampaikan khotbah tentang Perang Salib di Piacenza, tetapi satu-satunya catatan mengenai hal tersebut hanyalah tulisan Bernold dari St. Blasien dalam Chronicon.[38]

Kelima versi catatan khotbah tersebut memiliki sejumlah perbedaan, tetapi semua versi, kecuali yang ada di Gesta Francorum, sama-sama mencatat bahwa Urbanus menyabdakan tentang kekerasan dalam masyarakat Eropa dan kewajiban untuk menjaga Perdamaian Tuhan; tentang menolong orang Yunani yang meminta bantuan; tentang kejahatan yang dilakukan terhadap umat Kristen di timur; serta tentang jenis perang baru, yaitu ziarah bersenjata, dengan imbalan di surga, dan penghapusan dosa diberikan kepada siapa pun yang gugur dalam perang tersebut.[39] Tidak semua versi secara spesifik menyebutkan Yerusalem sebagai tujuan akhir. Namun, muncul dugaan bahwa khotbah Urbanus selanjutnya menyebutkan bahwa ia berharap pengembaraan ke Yerusalem sudah dilakukan sejak dulu.[40] Menurut salah satu catatan khotbah, kerumunan hadirin yang menggebu-gebu meneriakkan Deus lo volt!—Tuhan menghendakinya.

Para bangsawan besar Prancis dan pasukannya yang terlatih bukanlah rombongan pertama yang memulai perjalanan menuju Yerusalem.[42] Urbanus telah merencanakan keberangkatan tentara salib pertama pada tanggal 15 Agustus 1096, bertepatan dengan Hari Kenaikan Maria, tetapi beberapa bulan sebelumnya, serombongan pasukan tak terduga yang terdiri dari para petani dan bangsawan rendahan berangkat lebih dulu menuju Yerusalem, yang dipimpin oleh seorang imam karismatik bernama Peter sang Pertapa.[43] Peter adalah pengkhotbah yang paling berhasil menyampaikan pesan Urbanus dan menumbuhkan semangat yang bergelora di kalangan pengikutnya, meskipun ia bukanlah pengkhotbah "resmi" yang disetujui oleh Urbanus di Clermont.[44] Pada awalnya, diyakini bahwa pengikut Peter terdiri dari sekelompok besar petani tidak terlatih dan tidak berpendidikan yang bahkan tidak tahu di mana letak Yerusalem, tetapi ada juga sejumlah kesatria di antara para petani, termasuk Walter Sans Avoir, yang merupakan wakil Peter dan memimpin serombongan pasukan terpisah.

Kurangnya keterampilan militer membuat pasukan Peter mudah mengalami kesulitan, meskipun mereka masih berada di wilayah Kristen.[46] Pasukan yang dipimpin oleh Walter menjarah kawasan Beograd dan Zemun, dan berhasil tiba di Konstantinopel tanpa kendala berarti. Sementara itu, pasukan yang dipimpin oleh Peter, yang berarak terpisah dari pasukan Walter, bertempur dengan bangsa Hungaria dan kemungkinan berhasil merebut Beograd. Di Niš, gubernur Bizantium memberi mereka makanan, tetapi Peter tidak bisa mengendalikan pasukannya dan bentrokan pecah dengan warga setempat, yang berhasil diredakan oleh tentara Bizantium. Peter tiba di Konstantinopel pada bulan Agustus. Pasukannya kemudian bergabung dengan pasukan Walter yang telah tiba lebih dulu, serta dengan rombongan tentara salib dari Prancis, Jerman, dan Italia. Pasukan lainnya dari Bohemia dan Sachsen tercerai-berai dan tidak berhasil melewati Hungaria.

Rombongan Peter dan Walter yang tak terkendali mulai menjarah di pinggiran kota untuk mencari perbekalan dan makanan. Hal tersebut mendorong Aleksius untuk memberangkatkan mereka menyeberangi Selat Bosporus satu minggu lebih cepat. Setelah tiba di Asia Kecil, rombongan tentara salib tercerai-berai dan mulai menjarah pedesaan, menyelinap memasuki wilayah Seljuk di dekat Nikea. Bangsa Turki yang jauh lebih berpengalaman membantai sebagian besar rombongan tersebut.[42] Serombongan pasukan Italia dan Jerman dikalahkan dalam Pengepungan Xerigordon pada akhir September. Sementara itu, pasukan Walter dan Peter, meskipun kebanyakannya tidak terlatih dalam pertempuran, dipimpin oleh kurang lebih 50 kesatria, yang bertempur melawan pasukan Turki dalam Pertempuran Civetot pada bulan Oktober 1096. Para pemanah Turki melumpuhkan bala tentara salib dan Walter adalah salah seorang yang tewas. Peter, yang tidak berada di Konstantinopel pada saat itu, belakangan bergabung dengan tentara salib gelombang kedua, bersama dengan segelintir penyintas dari Civetot.

Di Eropa, imbauan Perang Salib Pertama memicu terjadinya pembantaian Rhineland yang menyasar orang-orang Yahudi. Pada akhir 1095 dan awal 1096, beberapa bulan sebelum keberangkatan tentara salib resmi pada bulan Agustus, terjadi sejumlah penyerangan terhadap masyarakat Yahudi di Prancis dan Jerman. Pada bulan Mei 1096, Emicho dari Flonheim memerangi orang Yahudi di Speyer dan Worms. Tentara salib tidak resmi lainnya dari Swabia, yang dipimpin oleh Hartmann dari Dillingen, bersama dengan para sukarelawan dari Prancis, Inggris, Lotharingia, dan Flandria yang dipimpin oleh Drogo dari Nesle dan William si Tukang Kayu beserta penduduk setempat, ikut membantu Emicho dalam menggempur masyarakat Yahudi di Mainz pada akhir Mei. Di Mainz, seorang perempuan Yahudi memilih membunuh anak-anaknya ketimbang membiarkannya dibunuh oleh tentara salib. Kepala rabi Kalonymus ben Meshullam bunuh diri sebelum tentara salib menghabisinya. Pasukan Emicho kemudian meneruskan perjalanan ke Cologne, sedangkan pasukan lainnya bergerak menuju Trier, Metz, dan kota-kota lain. Peter sang Pertapa diduga juga turut serta menganiaya orang Yahudi, dan serombongan pasukan yang dipimpin oleh seorang imam bernama Folkmar memerangi orang Yahudi di Bohemia.

Kálmán dari Hungaria harus menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh tentara salib di sepanjang perjalanannya melintasi Hungaria menuju Tanah Suci pada tahun 1096. Ia membasmi dua rombongan tentara salib yang menjarah kerajaannya. Pasukan Emicho akhirnya melanjutkan perjalanan ke Hungaria, tetapi juga dilumpuhkan oleh Kálmán, dan pengikut Emicho tercerai-berai. Sejumlah pasukan berhasil bergabung dengan pasukan utama, sedangkan Emicho sendiri harus pulang ke kampung halamannya. Kebanyakan penyerang hendak memaksa umat Yahudi untuk memeluk agama Kristen, meskipun sebagian juga mengincar harta mereka. Kekerasan fisik terhadap orang Yahudi bukanlah kebijakan resmi gereja dalam perang salib, dan para uskup Kristen, terutama Uskup Agung Cologne, melakukan upaya terbaik untuk melindungi orang Yahudi. Satu dekade sebelumnya, Uskup Speyer memindahkan Yahudi di kota tersebut ke sebuah ghetto berpagar untuk melindungi mereka dari kezaliman Kristen dan menyerahkan kendali atas masalah peradilan kepada kepala rabi Yahudi. Namun, sejumlah uskup juga menerima uang sebagai imbalan karena melindungi Yahudi. Serangan-serangan tersebut diduga dipicu oleh anggapan bahwa orang Yahudi dan Muslim adalah musuh Kristus, dan oleh sebab itu harus diperangi atau dikristenkan.

Empat pasukan utama bala tentara salib berangkat dari Eropa Barat pada bulan Agustus 1096. Mereka mengambil rute yang berbeda menuju Konstantinopel, sebagian melintasi Eropa Timur dan Balkan, dan sebagian lagi menyeberangi Laut Adriatik. Kálmán dari Hungaria mengizinkan Godfrey dan pasukannya melewati Hungaria dengan syarat saudaranya, Baldwin, dijadikan sebagai sandera untuk menjamin perilaku baik pasukannya. Seluruh pasukan berkumpul di luar Tembok Konstantinopel era Romawi antara bulan November 1096 dan April 1097. Hugh dari Vermandois yang pertama tiba, disusul oleh Godfrey, Raymond, dan Bohemond.[53]

Perekrutan prajurit untuk perang besar semacam ini dilakukan di seluruh benua. Perkiraan jumlah tentara salib yang berangkat dari Eropa Barat seusai Konsili Clermont berkisar antara 70.000 hingga 80.000 orang, dan lebih banyak lagi prajurit yang bergabung dalam waktu tiga tahun berikutnya. Perkiraan jumlah kesatria berkisar antara 7.000 hingga 10.000; 35.000 hingga 50.000 prajurit pejalan kaki; dan jumlah keseluruhannya mencapai 60.000 hingga 100.000 orang, termasuk prajurit nonkombatan.[54] Khotbah Paus Urbanus direncanakan dengan baik. Ia telah membahas perang salib dengan Adhemar dari Le Puy[55] dan Raymond IV dari Toulouse,[56] sehingga rencana tersebut dengan cepat mendapatkan dukungan dari dua bangsawan paling berpengaruh di Prancis selatan. Adhemar sendiri menghadiri konsili dan menjadi orang pertama yang "menerima tanda salib". Sepanjang tahun 1095 dan 1096, Urbanus menyebarkan pesannya ke seluruh Prancis, serta mendesak para uskup dan legatus agar berkhotbah di keuskupan mereka di Prancis, Jerman, dan Italia. Alhasil, tanggapan terhadap khotbah tersebut jauh lebih besar daripada yang diharapkan oleh Sri Paus, apalagi Aleksius. Dalam perjalanannya berkeliling Prancis, Urbanus berupaya melarang golongan tertentu (umumnya perempuan, biarawan, dan orang sakit) untuk bergabung dengan tentara salib, tetapi hal demikian hampir mustahil dilakukan. Pada akhirnya, kebanyakan calon tentara salib bukanlah dari kalangan kesatria, melainkan dari kalangan petani miskin yang tidak punya keterampilan berperang, yang bergabung semata karena alasan kesalehan emosional dan pribadi yang tidak bisa dikendalikan oleh bangsawan gerejawi dan kaum feodal. Biasanya, setiap kali khotbah Paus berakhir, para sukarelawan akan mengambil sumpah untuk menuntaskan peziarahan ke Gereja Makam Kudus; mereka juga diberi tanda salib yang dijahit pada pakaian.

Sulit untuk menilai alasan ribuan prajurit memilih bergabung dengan tentara salib. Sebagian besarnya tidak memiliki catatan sejarah sama sekali, bahkan para kesatria tersohor sekalipun, yang kisahnya biasanya diceritakan ulang oleh para biarawan atau rohaniwan. Diduga kuat bahwa kesalehan adalah alasan utama seseorang bergabung dengan tentara salib. Di tengah-tengah antusiasme umatnya, Urbanus tetap memastikan bahwa akan ada pasukan kesatria yang direkrut dari kalangan bangsawan Prancis. Selain Adhemar dan Raymond, para pemimpin lain yang direkrut di sepanjang tahun 1096 adalah Bohemond dari Taranto,[60] sekutu pembaharu Paus di Italia selatan; keponakan Bohemond, Tancred;[61] Godfrey dari Bouillon,[62] yang sebelumnya merupakan sekutu antireformasi Kaisar Romawi Suci; adik Godfrey, Baldwin dari Boulogne;[63] Hugh I, Pangeran Vermandois,[64] adik Philippe I dari Prancis; Robert Curthose,[65] kakak William II dari Inggris; serta kerabatnya, Stephen II, Pangeran Blois,[66] dan Robert II, Pangeran Flandria.[67] Para tentara salib tersebut berasal dari Prancis utara dan selatan, Flandria, Jerman, dan Italia selatan, sehingga dibagi menjadi empat pasukan terpisah yang tidak selalu bersama, meskipun mereka dipersatukan oleh tujuan yang sama.[68]

Tentara salib dikomandoi oleh sejumlah bangsawan paling berkuasa di Prancis, bahkan banyak yang meninggalkan segalanya, dan sering kali seluruh keluarganya ikut serta dalam perang salib dengan biaya besar yang mereka tanggung sendiri. Robert dari Normandia menitipkan Kadipaten Normandia kepada kakaknya, William II dari Inggris, dan Godfrey menjual atau menggadaikan hartanya kepada gereja. Tancred mengkhawatirkan dosa yang akan ditanggungnya lantaran berperang sebagai seorang kesatria, tetapi ia memandang perang salib sebagai cara untuk membenarkan tindakannya dikarenakan alasan religius. Tancred dan Bohemond, serta Godfrey, Baldwin, dan kakaknya, Eustace III, Pangeran Boulogne,[70] adalah contoh keluarga yang bersama-sama ikut dalam perang salib. Kebanyakan antusiasme untuk ikut serta dalam perang salib didorong oleh hubungan keluarga, karena sebagian besar tentara salib Prancis masih berkerabat jauh. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus, hasrat pribadi juga turut berperan dalam mendorong seseorang bergabung dengan tentara salib. Misalnya, Bohemond tergerak oleh ambisinya untuk menguasai wilayah di timur, dan sebelumnya ia telah berupaya menggempur Bizantium untuk mewujudkan keinginan tersebut. Perang salib memberinya kesempatan lebih lanjut, yang ia wujudkan setelah Pengepungan Antiokhia dengan mengambil alih kota tersebut dan mendirikan Kepangeranan Antiokhia.[71]

Bala tentara salib berangkat ke Konstantinopel dengan menempuh berbagai rute. Godfrey mengambil rute darat melintasi Balkan,[46] sedangkan Raymond dari Toulouse memimpin pasukan Provence menyusuri pesisir Iliria, dan kemudian ke timur menuju Konstantinopel.[72] Bohemond dan Tancred memimpin pasukan Normandia menyeberangi Laut Adriatik ke Durazzo, dan kemudian menempuh jalur darat ke Konstantinopel.[73] Pasukan tersebut tiba di Konstantinopel dengan sedikit makanan dan mengharapkan bantuan perbekalan dari Kaisar Aleksius. Aleksius awalnya curiga, mengingat pengalamannya dengan pasukan Perang Salib Rakyat, dan juga karena para kesatria tersebut merupakan musuh lamanya dari Normandia, terutama Bohemond, yang beberapa kali telah menyerbu wilayah Bizantium bersama ayahnya dan dicurigai berancang-ancang mengatur serangan ke Konstantinopel selagi berkemah di luar perbatasan. Kali ini, Aleksius lebih siap menghadapi kedatangan tentara salib dan insiden kekerasan yang terjadi di sepanjang jalan lebih sedikit.

Tentara salib berharap agar Aleksius menjadi pemimpin pasukan, tetapi ia tidak tertarik untuk bergabung dengan tentara salib, dan berupaya keras memberangkatkan mereka ke Asia Kecil secepat mungkin. Sebagai imbalan atas makanan dan perbekalan yang ia berikan, Aleksius meminta para pemimpin pasukan bersumpah setia kepadanya dan berjanji untuk mengembalikan wilayah yang direbut dari Turki ke Kekaisaran Bizantium. Godfrey adalah pemimpin pertama yang menyanggupi sumpah tersebut, dan hampir semua pemimpin lain mengikutinya, kendati mereka melakukannya setelah perang hampir pecah di kota antara warga dan tentara salib, yang sangat ingin menjarah perbekalan. Hanya Raymond yang menolak bersumpah, walaupun ia berjanji bahwa ia tidak akan merugikan kekaisaran. Menjelang seluruh pasukan dipindahkan melintasi Bosporus, Aleksius menasihati para pemimpin mengenai taktik menghadapi pasukan Seljuk yang akan segera mereka perangi.

Bala tentara salib menyeberang ke Asia Kecil pada bulan Mei 1097 dan bergabung dengan Peter sang Pertapa beserta segelintir pasukannya yang masih tersisa. Di samping itu, Aleksius juga mengutus dua jenderalnya, Manuel Boutoumites dan Tatikios, untuk membantu tentara salib. Sasaran pertama mereka adalah Nikea, sebuah kota yang dulunya berada di bawah kekuasaan Bizantium, tetapi saat itu dijadikan sebagai ibu kota Kesultanan Rûm Seljuk di bawah pimpinan Kilij Arslan.[76] Arslan sedang berperang melawan Danishmend di Anatolia tengah pada saat itu, dan meninggalkan harta serta keluarganya di Nikea, menyepelekan kekuatan tentara salib yang baru tersebut.

Tatkala tentara salib tiba di Nikea pada tanggal 14 Mei 1097, kota tersebut dikepung, dan ketika Arslan mendengar kabar tersebut, ia bergegas kembali ke Nikea dan menyerbu tentara salib pada tanggal 16 Mei. Pasukannya berhasil dipukul mundur oleh tentara salib yang jumlahnya lebih banyak dari perkiraannya, dan kerugian besar dialami oleh kedua belah pihak dalam pertempuran tersebut. Pengepungan terus berlanjut, tetapi tentara salib gagal memblokade Danau İznik, yang menjadi jalur utama untuk mencapai Nikea. Pasukan Aleksius tiba dan ia memerintahkan agar kapal-kapal milik tentara salib digulingkan di daratan agar bisa berlabuh di danau. Kapal akhirnya berhasil dilayarkan, dan pasukan Turki menyerah pada tanggal 18 Juni.

Ada ketidakpuasan di kalangan prajurit Franka yang dilarang menjarah kota. Hal tersebut diatasi oleh Aleksius dengan memberi hadiah uang kepada bala tentara salib. Catatan sejarah yang ditulis di kemudian hari melebih-lebihkan ketegangan yang terjadi antara prajurit Yunani dan prajurit Franka. Stephen dari Blois, dalam suratnya kepada istrinya, Adela dari Blois, memastikan bahwa itikad baik dan kerja sama masih tetap terjalin pada kala itu.[79] Jatuhnya Nikea dianggap sebagai hasil kerja sama yang jarang terjadi antara tentara salib dengan Bizantium.

Pada akhir Juni 1097, tentara salib melanjutkan perjalanan melewati Anatolia. Mereka diiringi oleh serombongan pasukan Bizantium di bawah pimpinan Tatikios, dan masih berharap bahwa Aleksius kelak akan mengirimkan seluruh pasukan Bizantium. Mereka juga membagi pasukan menjadi dua rombongan agar lebih mudah diatur—satu rombongan dipimpin oleh Normandia, dan rombongan lainnya oleh Prancis. Kedua rombongan tersebut berencana untuk bertemu kembali di Dorilaeum, tetapi pada 1 Juli, rombongan Normandia, yang berarak jauh di depan rombongan Prancis, disergap oleh Kilij Arslan.[81] Setelah mengalami kekalahan di Nikea, Arslan mengumpulkan pasukan yang jauh lebih besar dari sebelumnya, dan mengepung rombongan Normandia dengan segerombolan pemanah berkuda. Rombongan Normandia "membentuk formasi pertahanan yang kuat", mengelilingi semua perlengkapan perang dan prajurit nonkombatan yang mengiringi mereka di sepanjang perjalanan, dan kemudian mengirim permintaan bantuan kepada rombongan lainnya. Ketika rombongan Prancis tiba, Godfrey menerobos garis pertahanan Turki dan legatus Adhemar menyergap pasukan Turki dari belakang. Pasukan Turki, yang bertekad melumpuhkan rombongan Normandia dan tidak menduga kedatangan rombongan Prancis, melarikan diri dari medan pertempuran.

Ketika melintasi Anatolia, arak-arakan tentara salib tidak menemui kendala yang berarti, tetapi perjalanan tersebut tidaklah mudah, sebab Arslan telah membakar dan menghancurkan seluruh perbekalan tentara salib sebelum kabur. Saat itu bertepatan dengan pertengahan musim panas, dan tentara salib sangat kekurangan makanan dan air; banyak prajurit dan kuda yang mati. Penduduk Kristen setempat terkadang memberi mereka makanan atau uang, tetapi hal demikian jarang terjadi, alhasil tentara salib terpaksa menjarah dan merampok setiap kali ada kesempatan. Para komandan terus berdebat mengenai kepemimpinan keseluruhan pasukan, tetapi tidak ada yang cukup layak mengambil alih komando seorang diri, dan Adhemar lah yang diakui sebagai pemimpin spiritual dalam pasukan.[83]

Setelah melewati Gerbang Kilikia, Baldwin dan Tancred memisahkan diri dari pasukan utama dan menuju ke negeri Armenia.[84] Baldwin berhasrat mendirikan sebuah kerajaan bagi dirinya sendiri di Tanah Suci,[85] dan di Armenia, ia bisa mengandalkan dukungan dari penduduk Kristen setempat, khususnya seorang petualang bernama Bagrat. Baldwin dan Tancred memimpin dua rombongan terpisah, yang bertolak dari Heraclea pada tanggal 15 September. Tancred tiba lebih dulu di Tarsus. Ia lalu membujuk garnisun Seljuk untuk mengibarkan panji pasukannya di benteng kota. Baldwin tiba di Tarsus keesokan harinya, dan tanpa diduga, pasukan Turki mengizinkan Baldwin mengambil alih dua menara. Lantaran kalah jumlah, Tancred memutuskan tidak bertempur untuk merebut kota tersebut. Tidak lama berselang, rombongan kesatria Normandia tiba di Tarsus, tetapi Baldwin tidak mengizinkan mereka masuk. Pasukan Turki membantai rombongan Normandia pada malam itu, dan pasukan Baldwin menyalahkannya atas kejadian tersebut. Baldwin berlindung di sebuah menara dan meyakinkan para prajuritnya bahwa pembantaian tersebut bukanlah kesalahannya. Seorang perompak bernama Guynemer dari Boulogne berlayar mengarungi Sungai Berdan ke Tarsus dan bersumpah setia kepada Baldwin. Ia lalu menyewa anak buah Guynemer untuk menjaga kota selagi ia melanjutkan upayanya untuk menguasai Armenia.

Sementara itu, Tancred berhasil merebut kota Mamistra. Baldwin tiba di kota tersebut kira-kira tanggal 30 September. Richard dari Salerno, seorang prajurit Normandia, hendak membalas dendam atas peristiwa di Tarsus, yang menyebabkan terjadinya bentrokan antara pasukan Baldwin dan Tancred. Baldwin meninggalkan Mamistra dan bergabung dengan pasukan utama di Marash, tetapi Bagrat membujuknya untuk melancarkan serangan ke wilayah Armenia yang padat penduduk, dan Baldwin memisahkan diri dari pasukan utama pada tanggal 17 Oktober. Penduduk Armenia menyambut kedatangan Baldwin, membantai prajurit Seljuk, dan berhasil merebut benteng kota Ravendel dan Turbessel sebelum akhir 1097. Baldwin lantas mengangkat Bagrat sebagai gubernur Ravendel.

Penguasa Armenia, Thoros dari Edessa, mengirim utusan kepada Baldwin pada awal 1098, meminta bantuannya dalam melawan Seljuk yang makin mendekat ke wilayahnya.[89] Sebelum bertolak ke Edessa, Baldwin memerintahkan penangkapan Bagrat, yang dituduhnya bersekongkol dengan Seljuk. Bagrat disiksa dan dipaksa menyerahkan Ravendel. Baldwin lantas berangkat ke Edessa pada awal Februari, sempat dihadang oleh pasukan Balduk, emir Samosata, dalam perjalanannya. Setibanya di Edessa, ia disambut baik oleh Thoros dan penduduk Kristen setempat. Di luar dugaan, Thoros mengadopsi Baldwin sebagai anak dan menjadikannya sebagai penguasa pendamping di Edessa. Diperkuat oleh pasukan Edessa, Baldwin menyerbu wilayah Balduk dan memerintahkan prajuritnya untuk menempati sebuah benteng kecil di dekat Samosata.[90]

Tidak lama setelah Baldwin kembali dari peperangan, sekelompok bangsawan setempat mulai berkomplot melawan Thoros, diduga atas hasutan Baldwin. Kerusuhan mulai pecah di Edessa, yang memaksa Thoros untuk berlindung di benteng kota. Baldwin berjanji menyelamatkan ayah angkatnya, tetapi ketika para pemberontak menerobos masuk ke benteng kota pada tanggal 9 Maret dan membunuh Thoros serta istrinya, ia tidak melakukan apa-apa untuk menghentikan para pemberontak tersebut. Keesokan harinya, penduduk kota mengakui Baldwin sebagai penguasa mereka. Ia lalu diberi gelar Pangeran Edessa, dan mendirikan negara tentara salib pertama.[91]

Kendati Edessa dulunya adalah wilayah Bizantium yang direbut Seljuk pada tahun 1087, Aleksius tidak menuntut Baldwin untuk menyerahkan kota tersebut. Selain itu, pencaplokan Ravendel, Turbessel, dan Edessa kelak memperkuat kedudukan pasukan tentara salib di Antiokhia. Wilayah di sepanjang Sungai Efrat menyediakan banyak pasokan makanan bagi tentara salib, dan benteng-bentengnya menghalangi pergerakan pasukan Seljuk.[92]

Lantaran pasukannya kecil, Baldwin memanfaatkan diplomasi untuk mengamankan kekuasaannya di Edessa. Ia menikahi Arda dari Armenia, yang kelak menjadi permaisuri Kerajaan Yerusalem, dan memerintahkan para pengikutnya untuk menikahi perempuan setempat. Perbendaharaan Edessa yang kaya memungkinkannya untuk mempekerjakan prajurit bayaran dan membeli Samosata dari Balduk. Perjanjian pemindahan kekuasaan Samosata adalah kesepakatan bersahabat pertama yang dilakukan antara seorang pemimpin tentara salib dan penguasa Muslim, yang tetap diberi wewenang untuk menjadi gubernur kota.

Salah seorang tokoh penting di Edessa pada abad ke-12 adalah Belek Ghazi, cucu mantan gubernur Seljuk di Yerusalem, Artuk. Belek adalah emir Artuqiyah, yang menyewa Baldwin untuk memadamkan pemberontakan di Saruj.[94] Ketika para pemimpin Muslim Saruj mendatangi Balduk untuk meminta bantuan, Balduk bergegas menuju Saruj, sayangnya pasukannya tidak mampu menahan pengepungan dan akhirnya menyerah kepada Baldwin. Baldwin hendak menyandera istri dan anak-anak Balduk, tetapi ditolak. Baldwin lantas menangkap dan mengeksekusi Balduk. Dengan dikuasainya Saruj, Baldwin berhasil menyatukan wilayah kekuasaannya dan memastikan tetap berhubungan dengan pasukan utama tentara salib. Kerbogha, yang bertekad mengalahkan tentara salib, mengumpulkan pasukan besar untuk melenyapkan Baldwin. Dalam perjalanannya menuju Antiokhia, Kerbogha mengepung tembok Edessa selama tiga minggu pada bulan Mei, tetapi tidak berhasil merebutnya. Kegagalannya tersebut berperan penting dalam kemenangan tentara salib di Antiokhia.

Tentara salib, tanpa Baldwin dan Tancred, terus bergerak menuju Antiokhia, yang terletak di antara Konstantinopel dan Yerusalem. Sebagaimana dijelaskan oleh Stephen dari Blois dalam suratnya, Antiokhia adalah "sebuah kota yang sangat luas, diperkokoh dengan kekuatan yang luar biasa dan hampir tak tertembus". Gagasan untuk menyerang dan merebut kota tersebut mulai diragukan oleh bala tentara salib.[79] Berharap bisa memaksa pemimpin kota menyerahkan diri, atau menemukan pengkhianat di dalam kota—taktik yang dahulunya menyebabkan Antiokhia jatuh ke tangan Bizantium dan kemudian Turki Seljuk—tentara salib memulai pengepungan pada tanggal 20 Oktober 1097. Antiokhia teramat besar sehingga tentara salib tidak memiliki cukup pasukan untuk mengepungnya secara penuh, alhasil kota tersebut tetap mendapatkan pasokan makanan.[96] Pengepungan Antiokhia kelak disebut sebagai "pengepungan paling menarik dalam sejarah."

Pada bulan Januari, pengepungan telah berlangsung selama delapan bulan, yang amat menguras tenaga dan menyebabkan ratusan, atau bahkan ribuan tentara salib mati kelaparan. Adhemar mempercayai bahwa hal tersebut disebabkan oleh dosa-dosa yang telah mereka perbuat, maka dilakukanlah ibadat berpuasa, berdoa, bersedekah, dan kebaktian. Para perempuan diusir dari perkemahan. Banyak prajurit yang melarikan diri, termasuk Stephen dari Blois. Ketersediaan makanan lumayan menenangkan keadaan, sebab pasokan tiba secara teratur dari Kilikia dan Edessa lewat pelabuhan Latakia dan St Symeon yang baru direbut. Pada bulan Maret, armada kecil Inggris tiba membawa pasokan. Pasukan Franka memanfaatkan perpecahan di dunia Muslim dan menduga bahwa tentara salib adalah tentara bayaran Bizantium. Para sultan Seljuk, Duqaq dari Damaskus dan Ridwan dari Aleppo, mengirimkan tambahan pasukan bagi Turki pada bulan Desember dan Februari, dan gabungan pasukan tersebut kemungkinan akan berhasil memenangkan pertempuran.

Setelah mengalami kegagalan, Kerbogha[99] membentuk koalisi pasukan yang berasal dari Suriah selatan, Irak utara, dan Anatolia dengan tekad memperluas kekuasaannya dari Suriah hingga ke Mediterania. Koalisi tersebut butuh waktu tiga minggu untuk merebut kembali Saruj. Bohemond berupaya membujuk para pemimpin lainnya bahwa jika Antiokhia berhasil direbut, ia boleh menguasainya sendirian, dan mengungkapkan bahwa seorang komandan Armenia di dalam tembok kota setuju untuk membiarkan tentara salib masuk. Stephen dari Blois telah meninggalkan pasukannya. Ia berpapasan dengan rombongan Kaisar Aleksius di Philomelium dan berpesan kepada kaisar bahwa para pejuang telah kalah dan meyakinkannya agar kembali ke Konstantinopel dan jangan melanjutkan perjalanan menuju Anatolia.

Firouz dari Armenia membantu Bohemond dan serombongan kecil pasukan memasuki kota pada tanggal 2 Juni. Ia membuka sebuah gerbang, dan pada saat terompet dibunyikan, penduduk Kristen di kota tersebut membuka gerbang lainnya dan tentara salib pun masuk dengan leluasa. Tentara salib mulai menjarah kota dan membantai sebagian besar penduduk Muslim dan Kristen Yunani, Suriah, dan Armenia yang kebingungan.

Pada tanggal 4 Juni, barisan depan pasukan Kerbogha yang berjumlah 40.000 prajurit tiba dan mengepung pasukan Franka. Dari tanggal 10 sampai 14 Juni, pasukan Kerbogha menggempur tembok kota mulai dari fajar hingga senja. Bohemond dan Adhemar menutup gerbang kota untuk mempertahankan diri serta mencegah para prajuritnya melarikan diri. Kerbogha lalu mengubah taktik dengan membuat bala tentara salib kelaparan. Perilaku para prajurit di dalam kota amat tidak beradab dan peluang kekalahan makin besar. Seorang prajurit Prancis bernama Peter Bartholomew mengaku bahwa Rasul Santo Andreas mendatanginya untuk menunjukkan lokasi Tombak Takdir yang digunakan untuk menusuk Yesus Kristus di kayu salib. Pengakuan tersebut seharusnya membangkitkan semangat tentara salib, tetapi cerita tersebut tidaklah benar, sebab terjadinya dua minggu berselang sebelum pertempuran terakhir untuk merebut Antiokhia. Pada tanggal 24 Juni, prajurit Franka mengusulkan untuk menyerahkan diri, tetapi ditolak. Pada pagi hari tanggal 28 Juni 1098, prajurit Franka keluar dari kota dalam empat rombongan pasukan untuk menghadapi musuh. Kerbogha membiarkan pasukan tersebut mempersiapkan diri dan hendak menghabisi mereka di tempat terbuka. Sayangnya, kedisiplinan pasukan Muslim tidak bertahan lama dan serangan tidak karuan mulai dilancarkan. Pasukan Muslim kewalahan mengalahkan pasukan Franka yang jumlahnya dua kali lebih sedikit. Mereka membuka Gerbang Jembatan dan melarikan diri dari medan pertempuran. Dengan sedikit korban, pasukan Muslim kocar-kacir dan Antiokhia berhasil direbut.

Stephen dari Blois tengah berada di Alexandretta dan belum mengetahui apa yang terjadi di Antiokhia. Ia menganggap sudah tidak ada harapan kemenangan bagi tentara salib dan bersiap meninggalkan Timur Tengah. Dalam perjalan pulang menuju Prancis, ia memperingatkan Aleksius mengenai situasi di Antiokhia. Para pemimpin pasukan di Antiokhia menganggap ketidakhadiran Aleksius di medan pertempuran adalah bentuk pengkhianatan, dan oleh sebab itu mereka berhak membatalkan sumpah kepadanya. Bohemond mengklaim Antiokhia sebagai miliknya, tetapi tidak semuanya setuju (terutama Raymond dari Toulouse), alhasil Perang Salib tertunda sampai akhir tahun selagi para bangsawan saling bertikai mengenai kepemilikan wilayah. Tatkala membahas masa-masa tersebut, para sejarawan berpendapat bahwa bangsa Franka dari Prancis utara, Provençal dari Prancis selatan,[catatan 2] dan Normandia dari Italia selatan menganggap diri mereka sebagai bangsa yang terpisah, sehingga memicu perseteruan sebab masing-masingnya menganggap bahwa bangsa mereka lebih cakap dari yang lainnya. Sejarawan lainnya berpendapat bahwa selain disebabkan oleh perseteruan antar bangsa, ambisi pribadi di kalangan para pemimpin tentara salib juga bisa disalahkan sebagai penyebabnya.

Sementara itu, wabah penyakit merebak, yang menewaskan banyak prajurit, termasuk legatus Adhemar, yang wafat pada tanggal 1 Agustus.[105] Jumlah kuda juga jauh berkurang dari sebelumnya, dan yang lebih buruk lagi, para petani Muslim di Antiokhia menolak memberikan makanan kepada tentara salib. Pada bulan Desember setelah Pengepungan Ma'arrat al-Numan, sejumlah sejarawan mengungkapkan bahwa telah terjadi kanibalisme pertama di kalangan tentara salib, meskipun informasi tersebut tidak muncul dalam satu pun catatan sejarah Muslim kontemporer. Pada saat bersamaan, para kesatria dan pasukan jelata semakin resah dan mengancam akan melanjutkan perjalanan ke Yerusalem tanpa para pemimpin yang masih berseteru. Akhirnya, pada awal 1099, perjalanan dilanjutkan setelah Bohemond dinyatakan sebagai Pangeran Antiokhia pertama.[108][109]

Tentara salib melanjutkan perjalanan menyusuri pesisir Laut Tengah tanpa kendala berarti, sebab para penguasa setempat lebih memilih untuk berdamai dan memberi mereka perbekalan ketimbang melawan. Jumlah pasukan semakin banyak, Robert Curthose dan Tancred sepakat untuk menjadi vasal Raymond IV dari Toulouse, yang cukup kaya untuk menggaji mereka berdua. Godfrey dari Bouillon, yang sekarang mendapat dukungan dari saudaranya di Edessa, menolak melakukan hal serupa. Pada bulan Januari, Raymond membongkar tembok kota Ma'arrat al-Numan dan mulai berjalan ke selatan menuju Yerusalem, bertelanjang kaki dan berpakaian seperti seorang peziarah. Tindakannya tersebut diikuti oleh Robert dan Tancred beserta pasukan mereka masing-masing.[110]

Raymond berencana menguasai Tripoli dan mendirikan sebuah negara yang setara dengan Antiokhia. Pada 14 Februari 1099, ia memulai pengepungan Arqa, sebuah kota di Lebanon utara. Sementara itu, Godfrey dan Robert II dari Flandria, yang juga menolak mengabdi kepada Raymond, bergabung dengan tentara salib yang tersisa di Latakia dan berkirab ke selatan pada bulan Februari. Bohemond awalnya ikut berkirab bersama mereka, tetapi ia kembali ke Antiokhia untuk mengukuhkan kekuasaannya melawan Bizantium yang makin merangsek maju. Tancred lantas meninggalkan Raymond dan bergabung dengan Godfrey. Pasukan terpisah yang ikut serta mengiringi Godfrey dipimpin oleh Gaston IV dari Béarn.[110]

Godfrey, Robert, Tancred, dan Gaston tiba di Arqa pada bulan Maret selagi pengepungan masih berlangsung. Pons dari Balazun tewas terkena peluru batu. Keadaan saat itu penuh kemelut, tidak hanya di kalangan para pemimpin pasukan, tetapi juga di kalangan para klerus. Sejak tewasnya Adhemar, tidak ada pemimpin jelas Perang Salib, dan sejak muncul dugaan ditemukannya Tombak Takdir, ada rasa saling curiga di kalangan para rohaniwan. Pada tanggal 8 April, Arnulf dari Chocques menantang Peter Bartholomew untuk menjalani ujian api. Peter menjalani ujian tersebut dan tewas beberapa hari kemudian akibat luka bakar yang dideritanya. Tewasnya Peter memunculkan anggapan bahwa penemuan Tombak Takdir hanyalah cerita palsu. Hal demikian memudarkan kewenangan Raymond, sebab ialah yang paling mendukung kebenaran cerita tersebut.[111]

Pengepungan Arqa berlangsung hingga 13 Mei. Setelahnya, tentara salib hengkang tanpa merebut apa pun. Fatimiyah telah merebut kembali Yerusalem dari Seljuk setahun sebelumnya dan berupaya membuat kesepakatan dengan tentara salib. Fatimiyah berjanji akan menjamin kebebasan para peziarah Kristen untuk mengunjungi Tanah Suci dengan syarat tentara salib tidak menggempur mereka, tetapi kesepakatan tersebut ditolak. Gubernur Yerusalem, Iftikhar al-Dawla, sangat sadar akan ambisi tentara salib. Maka dari itu, ia mengusir seluruh penduduk Kristen Yerusalem dan meracuni sumur-sumur di kota tersebut. Pada tanggal 13 Mei, tentara salib tiba di Tripoli. Emir Jalal al-Mulk Abu'l Hasan memberi mereka kuda dan bersumpah akan memeluk Kristen jika tentara salib berhasil mengalahkan Fatimiyah. Tentara salib melanjutkan perjalanan ke arah selatan di sepanjang pantai, melewati Beirut pada tanggal 19 Mei dan Tirus pada 23 Mei. Pada tanggal 3 Juni, mereka berbelok ke pedalaman Jaffa dan tiba di Ramla, yang telah ditinggalkan oleh para penduduknya. Keuskupan Ramla-Lydda didirikan di Gereja St. Georgius sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Yerusalem. Pada tanggal 6 Juni, Godfrey mengirim Tancred dan Gaston untuk merebut Betlehem. Di sana, Tancred mengibarkan panji pasukannya di atap Gereja Kelahiran Yesus. Pada 7 Juni, tentara salib tiba di Yerusalem. Banyak prajurit yang menangis saat melihat kota yang telah membuat mereka menempuh perjalanan panjang tersebut.[112]

Kedatangan tentara salib di Yerusalem disambut oleh suasana pedesaan yang tandus, serta kekurangan persediaan air dan makanan. Bantuan tidak bisa diharapkan, terlebih adanya ketakutan bahwa penguasa Fatimiyah setempat akan menyerang mereka setiap saat. Tidak ada peluang untuk memblokade kota sebagaimana yang mereka lakukan di Antiokhia; tentara salib tidak memiliki cukup pasukan, perbekalan, dan waktu. Sebaliknya, mereka memutuskan untuk langsung menyerbu kota.[113] Tentara salib tidak punya banyak pilihan, sebab saat mereka tiba di Yerusalem, prajurit yang tersisa hanya sekitar 12.000 orang, termasuk 1.500 prajurit berkuda.[114] Maka dimulailah Pengepungan Yerusalem yang menentukan. Rombongan pasukan yang menyerbu kota terdiri dari prajurit dari beragam asal-usul dengan kesetiaan yang berbeda-beda, yang sama-sama dipersatukan oleh semangat kebersamaan. Sementara itu, Godfrey dan Tancred mendirikan perkemahan di sebelah utara kota, sedangkan Raymond berkemah di sebelah selatan. Rombongan Provençal tidak ikut serta dalam penyerbuan awal pada tanggal 13 Juni 1099. Lagi pula, penyerbuan tersebut hanya bersifat untung-untungan, bukan untuk meraih kemenangan telak. Seusai memanjat tembok kota, tentara salib dipukul mundur dari bagian dalam kota.[112]

Usai gagal menyerbu Yerusalem, diadakan pertemuan antar para pemimpin pasukan. Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa penyerbuan yang lebih terkoordinasi diperlukan untuk merebut Yerusalem. Pada tanggal 17 Juni, sekelompok pelaut Genoa di bawah pimpinan Guglielmo Embriaco tiba di Jaffa, yang membawa serta sejumlah perekayasa terampil, dan yang lebih penting, pasokan kayu (yang diperoleh dari kapal) untuk membangun mesin kepung bagi tentara salib.[116] Semangat tentara salib terangkat ketika pastor Peter Desiderius mengaku telah menerima penglihatan ilahi dari Adhemar Le Puy, memerintahkan mereka untuk berpuasa dan kemudian berarak khidmat tanpa alas kaki mengelilingi tembok kota, dengan demikian Yerusalem akan bisa ditaklukkan, sesuai dengan kisah Alkitab mengenai Pertempuran Yerikho.[112] Setelah berpuasa selama tiga hari, pada tanggal 8 Juli tentara salib melakukan arak-arakan khidmat sesuai perintah Desiderius, yang berakhir di Bukit Zaitun. Di sana, Peter sang Pertapa menyampaikan khotbah kepada mereka,[118] dan tidak lama berselang, para bangsawan yang berseteru akhirnya mencapai kesepakatan. Tak lama setelah itu, tersiar kabar bahwa bala bantuan Fatimiyah telah berangkat dari Mesir, yang mendorong tentara salib untuk kembali menyerbu kota.[112]

Serbuan terakhir ke Yerusalem dimulai pada tanggal 13 Juli. Pasukan Raymond menggempur gerbang selatan sedangkan pasukan lainnya menggempur tembok utara. Awalnya, pasukan Provençal yang menyerbu gerbang selatan tidak membuat kemajuan berarti, tetapi pasukan di tembok utara bernasib lebih baik, dan pertahanan kota terus melemah. Pada tanggal 15 Juli, gempuran terakhir dilancarkan di kedua sisi kota, dan akhirnya, benteng kota di tembok utara berhasil direbut. Dalam kepanikan, pasukan Fatmiyah mengacir dari tembok utara dan selatan, walhasil tentara salib berhasil memasuki kota.[119]

Pembantaian yang terjadi setelah penaklukan Yerusalem mencoreng citra tentara salib, yang dipandang sebagai "perpaduan antara kekerasan ekstrem dan ketersiksaan iman".[120] Kesaksian langsung dari tentara salib sendiri membuktikan bahwa tidak diragukan lagi pembantaian besar-besaran setelah penaklukan kota memang terjadi. Namun, sejumlah sejarawan berpendapat bahwa skala pembantaian tersebut terlalu dibesar-besarkan dalam sumber-sumber sejarah abad pertengahan yang ditulis seusai peristiwa tersebut.[121][122]

Setelah tembok utara berhasil digempur, para prajurit pembela kota melarikan diri ke Bukit Bait Suci, yang kemudian dikejar oleh Tancred dan pasukannya. Pasukan Tancred tiba di sana lebih dulu. Mereka lalu menggempur wilayah tersebut, membantai banyak prajurit Fatimiyah yang bersembunyi di sana, sedangkan selebihnya berlindung di Masjid Al-Aqsa. Tancred lantas memerintahkan pasukannya untuk menghentikan pembantaian dan menawarkan perlindungan kepada prajurit yang bersembunyi di masjid.[119] Tatkala prajurit pembela kota di tembok selatan mengetahui bahwa tembok utara telah runtuh, mereka melarikan diri ke benteng kota, sehingga Raymond dan pasukan Provençal bisa memasuki kota dengan leluasa. Iftikhar al-Dawla, komandan garnisun Yerusalem, membuat kesepakatan dengan Raymond. Ia bersedia menyerahkan benteng kota dengan syarat jaminan meninggalkan kota dengan selamat.[119]

Pembantaian terus berlangsung sepanjang hari; umat Muslim dibunuh secara membabi-buta, dan Yahudi yang berlindung di sinagoge tewas ketika rumah ibadah tersebut dibakar oleh tentara salib. Keesokan harinya, para prajurit yang ditawan oleh Tancred di masjid dibantai dengan keji. Kendati demikian, sejumlah Muslim dan Yahudi di Yerusalem berhasil selamat dari pembantaian, baik dengan cara melarikan diri atau ditawan untuk kemudian ditebus. Surat dari para pemuka Karait Ascalon menjelaskan mengenai upaya besar-besaran Yahudi Ascalon untuk menebus tawanan Yahudi dan mengirim mereka ke kota Aleksandria yang lebih aman. Penduduk Kristen Timur telah diusir oleh gubernur Yerusalem sebelum kota dikepung, sehingga lolos dari pembantaian.[119]

Pada tanggal 22 Juli, pertemuan diadakan di Gereja Makam Suci untuk menetapkan bentuk pemerintahan bagi Yerusalem. Dengan wafatnya Uskup Agung Yunani, tidak ada kandidat gerejawi yang layak dijadikan pemimpin religius, seperti yang diyakini oleh sejumlah pihak. Raymond dari Toulouse menyatakan diri sebagai pemimpin utama tentara salib sejak tahun 1098, tetapi dukungan terhadapnya berkurang sejak kegagalannya dalam mengepung Arqa dan berupaya mendirikan kerajaannya sendiri. Itulah sebabnya ia dengan bijak menolak dijadikan penguasa, beralasan bahwa mahkota hanya berhak dikenakan oleh Kristus. Upaya tersebut diduga dilakukannya untuk menghasut pemimpin lain agar menolak gelar tersebut, tetapi Godfrey sudah terbiasa dengan taktik semacam itu. Godfrey makin percaya diri untuk mengajukan diri sebagai penguasa Yerusalem berkat dukungan dari pasukan Lorraine, yang dipimpin oleh saudara-saudaranya, Eustace dan Baldwin, vasal dari dinasti Ardennes-Bouillon. Godfrey kemudian ditunjuk sebagai penguasa Yerusalem, digelari Advocatus Sancti Sepulchri atau Pembela Makam Suci. Raymond, yang marah atas penunjukan tersebut, berupaya merebut Menara Daud sebelum meninggalkan Yerusalem.

Sebelum kabar mengenai kemenangan tentara salib tiba di Roma, Paus Urbanus II mangkat pada tanggal 29 Juli 1099, empat belas hari setelah penaklukan Yerusalem oleh tentara salib. Ia digantikan oleh Paus Paskalis II, yang kelak menjabat hampir 20 tahun. Walaupun Kerajaan Yerusalem mampu bertahan hingga tahun 1291, kota Yerusalem kembali jatuh ke tangan Muslim di bawah pimpinan Saladin pada tahun 1187, setelah berkobarnya Pertempuran Hattin. Yerusalem diperintah oleh penguasa Muslim selama 40 tahun, dan akhirnya kembali ke tangan Kristen setelah serangkaian Perang Salib susulan.[126]

Pada bulan Agustus 1099, wazir Fatimiyah Al-Afdhal Syahansyah mendaratkan 20.000 kafilah dari Afrika Utara di Ascalon.[127] Geoffrey dan Raymond membariskan pasukannya untuk menghadapi bala tentara Muslim pada tanggal 9 Agustus, dan terjadilah Pertempuran Ascalon. Tentara salib hanya memiliki 1.200 kesatria dan 9.000 prajurit. Lantaran kalah jumlah dua banding satu, tentara salib berancang-ancang melancarkan serangan fajar kejutan, dan berhasil melumpuhkan kafilah Muslim yang terlalu percaya diri dan kurang persiapan. Namun, garnisun Fatimiyah hanya bersedia menyerah kepada Raymond, syarat yang tidak diterima oleh Godfrey. Tentara salib memang menang telak dalam pertempuran tersebut, tetapi Ascalon tetap berada di tangan Muslim dan menjadi ancaman bagi Kerajaan Yerusalem yang baru berdiri.

Usai ditaklukkannya Yerusalem, kebanyakan tentara salib menganggap bahwa peziarahan mereka telah selesai dan saatnya kembali ke kampung halaman. Hanya 300 kesatria dan 2.000 infanteri yang tetap tinggal untuk menjaga Palestina. Berkat dukungan dari para kesatria Lorraine, Godfrey ditunjuk sebagai penguasa Yerusalem, menghalangi penunjukan Raymond. Ketika Godfrey wafat setahun kemudian, para kesatria Lorraine berupaya menggagalkan rencana Dagobert dari Pisa, legatus kepausan di Yerusalem, yang ingin menjadikan Yerusalem sebagai negara teokrasi. Sebaliknya, mereka menobatkan Baldwin sebagai raja Latin pertama Yerusalem. Bohemond kembali ke Eropa dan kelak ikut berperang melawan Bizantium di Italia, tetapi pasukannya kalah pada tahun 1108 di Dyrrhachium. Setelah kematian Raymond, penerusnya berhasil merebut Kepangeranan Tripoli pada tahun 1109 dengan dukungan dari Genoa. Hubungan antara negara-negara tentara salib yang baru berdiri, yakni Kepangeranan Edessa dan Kepangeranan Antiokhia, cukup rumit. Keduanya berperang bersama ketika tentara salib mengalami kekalahan dalam Pertempuran Harran tahun 1104, tetapi Antiokhia menyatakan diri sebagai penguasa mutlak dan menghalangi kembali berkuasanya Baldwin II setelah ia ditangkap dalam pertempuran tersebut. Kaum Franka turut ikut campur dalam perpolitikan di Timur Dekat, sehingga umat Muslim dan Kristen sering kali terlibat perseteruan. Perluasan wilayah Antiokhia berakhir pada tahun 1119 setelah kalah telak oleh Turki dalam Pertempuran Ager Sanguinis.

Banyak prajurit yang harus pulang sebelum mencapai Yerusalem, dan banyak pula yang bahkan tidak ikut berperang sama sekali. Tatkala kabar kemenangan tentara salib terdengar sampai ke Eropa, orang-orang tersebut dicemooh dan diejek oleh keluarganya atau dikucilkan oleh gereja.[133] Tentara salib yang ikut berperang dan kembali ke kampung halamannya di Eropa Barat diperlakukan bak pahlawan. Robert II dari Flandria dijuluki Hierosolymitanus (orang Yerusalem) berkat keberhasilannya merebut Yerusalem. Perang Salib 1101 kembali diikuti oleh Stephen dari Blois dan Hugh dari Vermandois, keduanya tidak berhasil tiba di Yerusalem saat Perang Salib Pertama. Bala tentara salib 1101 hampir dilumpuhkan di Asia Kecil oleh Seljuk, tetapi prajurit yang selamat kelak membantu mempertahankan kerajaan setelah tiba di Yerusalem.[134]

Terbatasnya sumber tertulis menyebabkan sulit untuk mengetahui tanggapan dari dunia Islam. Segelintir sumber sejarah yang ada menunjukkan bahwa Perang Salib nyaris tidak dipedulikan oleh umat Muslim. Hal tersebut diduga disebabkan oleh kesalahpahaman budaya, ketika bangsa Turki dan Arab mengira bahwa tentara salib hanyalah prajurit bayaran Bizantium, bukannya pejuang perang berlandaskan agama yang berambisi untuk menaklukkan dan menguasai. Selain itu, dunia Islam pada masa itu masih terpecah. Para penguasa Muslim saling bertikai memperebutkan Kairo, Damaskus, Aleppo, dan Bagdad. Seusai penaklukkan Yerusalem, tidak ada serangan balasan yang berlandaskan Keislaman, sehingga memberi tentara salib kesempatan untuk mempererat persatuan.[135]

Dunia Kristiani takjub oleh keberhasilan Perang Salib Pertama dan berpandangan bahwa kemenangan tersebut terjadi berkat kuasa ilahi. Seandainya perang salib gagal, besar kemungkinan paradigma perang salib akan diabaikan. Sebaliknya, istilah perang agama telah dikenal selama berabad-abad, dan perang salib sendiri menjadi salah satu peristiwa bersejarah yang paling banyak ditulis pada abad pertengahan.[136] Historiografi (penulisan sejarah) Perang Salib Pertama dan Perang Salib lainnya ditunjukkan melalui beragam karya yang menyesuaikan dengan pandangan penulis dan zaman. Analisis kritis karya-karya mengenai Perang Salib Pertama dapat ditemukan dalam tulisan Jonathan Riley-Smith dan Christopher Tyerman.[138]

Buku terbitan Prancis pada abad ke-19, Recueil des historiens des croisades (RHC), merupakan sumber naratif awal Perang Salib Pertama yang dikumpulkan dari para penulis Latin, Arab, Yunani, Armenia, dan Suryani. Dokumen-dokumen tersebut diterbitkan dalam bahasa asli dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Karya tersebut ditulis berdasarkan tulisan abad ke-17 berjudul Gesta Dei per Francos, yang disusun oleh Jacques Bongars.[139] Sejumlah dokumen berbahasa Ibrani mengenai Perang Salib Pertama juga ikut diterbitkan. Daftar pustaka lengkap dapat ditemukan di buku The Routledge Companion to the Crusades.[140] Lihat juga Crusade Texts in Translation dan Selected Sources: The Crusades,[141] di Internet Medieval Sourcebook Universitas Fordham.

Sumber naratif berbahasa Latin mengenai Perang Salib Pertama adalah: (1) Gesta Francorum karya penulis tak dikenal; (2) Historia de Hierosolymitano itinere karya Peter Tudebode; (3) kronik Monte Cassino Historia belli sacri; (4) Historia Francorum qui ceperunt Iherusalem karya Raymond dari Aguilers; (5) Gesta Francorum Iherusalem Perefrinantium karya Fulcher dari Chartres; (6) Historia Hierosolymitanae expeditionis karya Albert dari Aachen; (7) Hierosolymita karya Ekkehard dari Aura; (8) Historia Hierosolymitana karya Robert sang Rahib; (9) Historiae Hierosolymitanae libri IV karya Baldric dari Dol; (10) Gesta Tancredi in expeditione Hierosolymitana karya Radulph dari Caen; dan (11) Dei gesta per Francos karya Guibert dari Nogent. Sumber-sumber tersebut memuat kesaksian langsung dari Dewan Clermont dan tentara salib sendiri.[142] Sejarawan Amerika August Krey telah mengumpulkan narasi-narasi tersebut dalam bukunya berjudul The First Crusade: The Accounts of Eyewitnesses and Participants, yang memuat berbagai kronologi beserta surat-surat yang ditulis semasa Perang Salib Pertama.[143]

Karya penting lainnya yang mengkaji Perang Salib Pertama adalah naskah yang ditulis dari sudut pandang bangsa Yunani, yang ditemukan dalam Alexiad karya putri Kekaisaran Bizantium Anna Komnene. Kajian Perang Salib dari sudut pandang Islam berasal dari dua sumber utama. Pertama, The Chronicle of Damascus karya sejarawan Arab Ibnu al-Qalanisi. Kedua, The Complete History karya sejarawan Arab (atau Kurdi) Ibnul Atsir al-Jazari. Karya lainnya yang dianggap penting adalah naskah berbahasa Armenia dan Suryani berjudul Chronicle karya Matthew dari Edessa dan Mikhael orang Suriah. Tiga kronik penting berbahasa Ibrani antara lain Solomon bar Simson Chronicle yang membahas mengenai pembantaian Rhineland.[144] Penjelasan lengkap tentang sumber-sumber Perang Salib Pertama bisa ditemukan dalam La Syrie du nord à l'époque des croisades et la principauté franque d'Antioche karya Claude Cahen.

Penulis Gesta, Fulcher dari Chartres, dan Raymond dari Aguilers, kesemuanya ikut terjun dalam Perang Salib dengan pasukan yang berbeda, dan banyak tulisan mereka yang dianggap sebagai sumber dasar historiografi Perang Salib Pertama. Sebagian tulisan Fulcher dan Raymond diilhami oleh Gesta, begitu juga dengan Peter Tudebode dan Historia Belli Sacri, dengan beberapa penyesuaian. Gesta ditulis ulang oleh Guibert dari Nogent, Baldric dari Dol, dan Robert sang Rahib, yang tulisannya paling banyak dibaca. Karya Albert kemungkinan tidak terinspirasi dari Gesta, tetapi mengandalkan keterangan saksi mata lainnya. Karya turunan yang berkaitan dengan Perang Salib antara lain Gesta Francorum Iherusalem expugnatium karya Bartolf dari Nangis,[146] De Captione Antiochiae karya Henry dari Huntingdon,[147] Chronicon sive Chronographia karya Sigebert dari Gembloux,[148] dan De Bello a Christianis contra Barbaros karya Benedetto Accolti.[149]

Pandangan abad ke-19 mengenai karya-karya di atas dapat ditemukan dalam History and Literature of the Crusades karya Heinrich von Sybel.[151] Von Sybel juga membahas beberapa surat dan korespondensi penting yang terjadi semasa Perang Salib Pertama, yang memberikan wawasan sejarah baru.[152] Lihat juga Die Kreuzzugsbriefe aus den Jahren, 1088–1100,[153] karya Heinrich Hagenmeyer dan Letters of the Crusaders[154] karya Dana Carleton Munro. Hagenmeyer juga menulis Chronologie de la première croisade 1094–1100, sebuah catatan harian pada Perang Salib Pertama, yang disesuaikan dengan sumber asli dan disertai komentar.[155]

Kepopuleran beragam tulisan mengenai perang salib membentuk pandangan seputar perang salib dalam benak masyarakat abad pertengahan. Banyak puisi dan lagu yang diilhami oleh Perang Salib Pertama, termasuk Historia de via Hierosolymitana karya Gilo dari Toucy.[156] Chanson de geste menceritakan Perang Salib Pertama mulai dari khotbah Sri Paus hingga penaklukan Antiokhia pada tahun 1098 dan berlanjut hingga tahun 1099. Menurut karya-karya Robert, Chanson d'Antioche merupakan sumber penting yang membantu mengkatalogkan bala tentara dalam Perang Salib Pertama dan membentuk pandangan tentang perang salib dalam benak masyarakat abad pertengahan.[157] Puisi Gerusalemme liberata karya Torquato Tasso pada abad ke-16, yang terinspirasi oleh karya-karya Accolti, tersohor selama hampir dua abad.[158] Tulisan Tasso digubah menjadi biografi mengenai Godfrey of Bulloigne, atau, The recoverie of Jerusalem, karya Edward Fairfax.[159]

Historiografi lainnya adalah Historia Ecclesiastica karya penulis kronik Inggris Orderic Vitalis.[160] Karya tersebut menceritakan sejarah sosial masyarakat di Inggris pada abad pertengahan, termasuk penceritaan Perang Salib Pertama berdasarkan catatan Baldric, dengan tambahan rincian dari sumber lisan dan biografi. Gesta dan catatan lebih rinci karya Albert dari Aachen juga mendasari Historia rerum in partibus transmarinis gestarum karya William dari Tyre.[161] Karya tersebut menjadi sumber utama bagi sejarah Perang Salib Pertama dan dianggap sebagai sumber sejarah analitis pertama. Historiografi hingga abad ke-17 sangat bergantung pada karya tersebut.[162]

Bernardus dari Clairvaux

Paus memerintahkan Bernardus untuk mengkhotbahkan Perang Salib Kedua dan memberikan indulgensi sebagaimana yang diberikan oleh Paus Urbanus II untuk Perang Salib Pertama.[6] Parlemen dihimpunkan di Vézelay, Burgundia tahun 1146, dan Bernardus berkhotbah dihadapan dewan pada 31 Maret. Louis VII dari Prancis, istri Louis Aliénor dari Aquitania, pangeran dan pemimpin-pemimpin hadir dan bersujud dibawah kaki Bernardus untuk menerima salib peziarah. Conrad III dari Jerman dan keponakannya Frederick Barbarossa, menerima salib dari tangan Bernardus.[7] Paus Eugenius sendiri datang ke Prancis untuk menyemangati. Bernardus kemudian pergi ke Jerman.

Walaupun semangatnya meluap-luap, namun pada dasarnya Bernardus bukanlah seorang fanatik maupun penganiaya. Seperti pada Perang Salib Pertama, khotbahnya dengan tidak sengaja menyebabkan serangan terhadap orang Yahudi. Pendeta fanatik Prancis yang bernama Rudolf telah menyebabkan pembantaian Yahudi di Rheinland, Köln, Mainz, Worms, dan Speyer. Rudolf menyatakan Yahudi tidak membantu secara finansial untuk menyelamatkan Tanah Suci. Bernardus menentang serangan tersebut dan berkelana dari Flandria ke Jerman untuk menyelesaikan masalah dan menenangkan massa. Bernardus lalu bertemu Rudolf di Mainz dan berhasil membuatnya diam, lalu mengembalikannya ke biara.[8]

Ketika Perang Salib Kedua diserukan, banyak orang Jerman Selatan yang menjadi sukarelawan perang. Orang-orang Sachsen di Jerman Utara merasa enggan. Pada pertemuan Reichstag di Frankfurt tanggal 13 Maret 1147, mereka memberitahu Santo Bernardus bahwa mereka lebih ingin berperang melawan bangsa Slavia. Paus Eugenius menerima rencana Sachsen dan mengeluarkan bula kepausan divina dispensatione pada 13 April. Bula Kepausan ini menyatakan bahwa tidak ada perbedaan nilai spiritual yang didapat dalam masing-masing perang salib. Orang yang menjadi sukarelawan melawan bangsa Slavia adalah bangsa Denmark, Sachsen, dan Polandia,[9] dan juga terdapat bangsa Bohemia.[10] Wakil Paus, Anselm dari Havelberg, diberi wewenang untuk memegang kekuasaan secara keseluruhan. Kampanye militer itu sendiri dipimpin oleh keluarga-keluarga Sachsen seperti Ascania, Wettin, dan Schauenburg.[11]

Kecewa dengan parsitipasi Jerman dalam perang salib, Obotrit menyerang Wagria pada Juni 1147, sehingga tentara salib mulai bergerak pada akhir musim panas tahun 1147. Setelah mengusir Obotrit dari wilayah Kristen, tentara salib menyerang benteng Obotrit di Dobin dan benteng bangsa Liutizia di Demmin. Ketika beberapa tentara salib menganjurkan untuk menghancurkan wilayah di luar kota, beberapa lainnya menolak, dan bertanya, "apakah itu bukan tanah kita sehingga kita hendak menghancurkannya, dan apakah mereka bukan bangsa kita sehingga kita hendak bertempur melawan mereka?"[12] Pasukan Sachsen dibawah Henry si Singa mundur setelah kepala kaum pagan Niklot setuju untuk membaptis garnisun Dobin. Setelah pengepungan Demmin gagal, kontingen tentara salib dialihkan untuk menyerang Pomerania. Mereka telah mencapai kota Kristen Stettin, lalu tentara salib dibubarkan setelah bertemu dengan Uskup Albert dari Pomerania dan Pangeran Ratibor I dari Pomerania.

Menurut Bernardus dari Clairvaux, tujuan perang salib ini adalah untuk melawan Slavia pagan "hingga pada saatnya nanti, dengan pertolongan Tuhan, entah mereka akan berpindah agama atau disingkirkan."[13] Sayangnya, tentara salib gagal mengganti agama orang-orang Wend. Orang-orang Sachsen mendapati kaum Slavia di Dobin berbondong-bondong kembali ke kepercayaan pagan mereka ketika tentara Kristen dibubarkan. Albert dari Pomerania menjelaskan, "jika mereka ingin agar Kekristenan mengakar kuat ... yang harus mereka lakukan adalah menyebarkannya melalui pengajaran, bukan menggunakan senjata."[14]

Pada akhir perang salib, Mecklenburg dan Pomerania mengalami penjarahan dan depopulasi akibat maraknya pertumpahan darah, terutama diakibatkan oleh keganasan tentara Henry si Singa.[15] Akibatnya, penduduk Slavia kehilangan banyak metode produksi, sehingga membatasi perlawanan mereka pada masa depan.[16]